TAHU DIRI
Oleh: Syahbana Daulay
Sering kita mendengar istilah "tak tahu diri" . istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tidak menyadari kedudukannya, batasannya, atau peran dan tanggung jawabnya. Misalnya, seseorang yang bertindak sombong padahal tidak punya kemampuan atau kedudukan yang sepadan. Setara juga dengan ungkapan tidak tahu malu, tidak tahu etika, tidak tahu rasa. Secara sederhana, tidak tahu diri bisa dipahami dengan tiadanya kesadaran atas siapa aku, di mana posisiku, dan apa batasanku.
Kenapa disebut ” tahu diri ” , bukan orang lain atau objek lain?.
Inti dari segala pemaknaan, kesadaran, dan perubahan adalah bermula dari diri sendiri. Diri adalah pusat kesadaran, tempat segala rasa, pikiran, dan niat berasal. Kalau seseorang tidak tahu diri, itu berarti ia belum menyadari pusat kendali dari seluruh tindakannya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa memperlakukan orang lain dengan benar kalau dengan dirinya sendiri saja ia belum kenal?
Dalam filsafat dan spiritualitas, diri sering dianggap sebagai pintu gerbang menuju pemahaman yang lebih tinggi. Dalam ungkapan yang masyhur oleh Yahya bin Muadz Ar-Razi mengatakan: ” Man ”arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” (Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya). Kalimat ini menunjukkan bahwa pengenalan diri adalah jalan menuju pengenalan kepada Tuhan. Diri itu bukan sekadar tubuh atau nama, melainkan sesuatu yang sangat dalam: jiwa, kesadaran, potensi, fitrah, dan bahkan takdir.
Urgensi Mengenal Diri
Mengenal diri adalah tugas penting setiap manusia, khususnya bagi orang yang beriman kepada Allah SWT sebagai Pencipta dan Yang “Merawat” dirinya. Setiap hamba harus sadar bahwa: Diri adalah cermin: kalau kabur, maka segala yang kita lihat pun akan kabur.
Diri adalah alat ukur: kalau bengkok, maka ukuran kebaikan dan kebenaran pun jadi salah.
Diri adalah titik awal: perubahan besar dimulai dari perubahan diri sendiri. Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11). Mengenal diri berarti mengenal Sang Pencipta. Adalah sesuatu yang menakjubkan bahwa diri manusia diciptakan dengan sangat kompleks, istimewa, dan penuh potensi. Bahkan Allah menyebut penciptaan manusia sebagai: ” Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tin: 4) Artinya, mengenal diri adalah bentuk syukur. Karena dengan mengenal siapa kita, kita akan melihat betapa agung ciptaan-Nya, betapa besar kuasa-Nya, dan betapa dekat hubungan kita dengan-Nya.
Mencari Diri lewat Kesadaran dan Pikiran
Socrates seorang Filsuf Yunani terkenal pernah mengungkapkan: “Know thyself.” (Kenalilah dirimu). Menurut Socrates, mengenal diri adalah kunci untuk hidup yang bermakna. Diri itu bukan tubuh, bukan jabatan, tapi jiwa, dan jiwa perlu diasah dengan dialog, perenungan, dan pencarian kebenaran. Ia percaya bahwa semua manusia memiliki pengetahuan bawaan (intuitif), tapi lupa. Maka tugas kita adalah mengingat kembali siapa kita sebenarnya.
Adapun René Descartes pernah berkata: “Aku berpikir, maka aku ada”. Descartes berangkat dari keraguan total terhadap semua yang bisa diragukan, kecuali satu hal: “Cogito, ergo sum” (aku berpikir, maka aku ada). Bahwa eksistensi diri dimulai dari kesadaran. Diri adalah entitas berpikir. Maka mengenal diri adalah mengenal pusat kesadaran, dan bukan semata mengenal tubuh atau emosi.
Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis berkata bahwa diri bukanlah sesuatu yang otomatis. Menurutnya, “The self is a relation that relates itself to itself.” Diri adalah relasi, antara potensi dan kenyataan, antara siapa kita dan siapa yang bisa kita jadi. Maka mengenal diri berarti menerima bahwa kita punya tugas eksistensial: menjadi diri yang otentik.
Menyibak Diri untuk Menyentuh Yang Ilahi
Setiap manusia pasti pernah bertanya dalam hatinya: Siapa aku? Dari mana aku datang? Untuk apa aku hidup? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar kontemplasi iseng. Ia adalah panggilan dari dalam, panggilan jiwa yang merindukan makna. Mengenal diri bukanlah tujuan akhir, melainkan jalan menuju sesuatu yang lebih agung:
mengenal Tuhan. Seseorang yang mengenal dirinya dengan jujur akan tahu batasnya, tahu potensi kebaikannya, dan tahu bahwa ia selalu membutuhkan Tuhan. Ia tidak lagi mencari pengakuan dari manusia, karena hatinya telah penuh oleh kesadaran akan Allah. Inilah yang disebut sebagai "Insan Kamil", manusia yang menjadi cermin bening bagi sifat-sifat Tuhan.
Percikan Cahaya dari Tuhan
Al-Qur’an menyebutkan bahwa penciptaan manusia tak hanya berupa tanah, daging, dan darah, tapi sesuatu yang jauh lebih dalam:
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِ
“Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalamnya ruh-Nya…” (QS. As-Sajdah: 9)
Ayat ini menunjukkan bahwa dalam diri manusia terdapat unsur yang ditiupkan Allah ke dalam dirinya, yaitu ruh. Ruh yang ditiupkan Allah menjadi bukti bahwa manusia memiliki koneksi yang kuat dan sangat dekat dengan Sang Pencipta. Maka setiap gerak langkah manusia sehari-hari mestinya mencerminkan sifat-sifat-Nya, seperti: kasih sayang, kebijaksanaan, kesabaran, keadilan. Tapi seiring waktu, cermin itu tertutup oleh debu dunia: ego, keserakahan, kesombongan, kelalaian. Maka perjalanan spiritual sejatinya adalah membersihkan cermin itu dari noda-noda yang menutupinya.
Rumi berkata: “Mengapa engkau tinggal di penjara, padahal pintunya terbuka?”. Penjara yang dimaksud adalah kebodohan terhadap diri sendiri. Kita lupa siapa kita sebenarnya, dan karena lupa, kita terjebak dalam pencarian yang salah arah: ke luar, bukan ke dalam. Rumi mengajak kita membebaskan diri dari belenggu ego: "You were born with wings, why prefer to crawl through life?" Banyak dari kita hidup dalam identitas palsu (ego, nama, status), padahal jiwa kita memanggil untuk kembali pada cinta Ilahi. Maka mengenal diri adalah melewati ego untuk bertemu dengan yang Maha Mencintai.
Empat Unsur Diri Menurut Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali, dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin, memetakan struktur kejiwaan manusia menjadi empat unsur utama. Setiap unsur memiliki potensi sekaligus tantangan, dan harus dikenali dalam proses penyucian diri.
1. Nafsu (النفس): Dorongan Duniawi
Nafsu adalah kekuatan yang mendorong manusia pada hasrat duniawi: makan, minum, seks, status, dan kuasa. Dalam bentuk liar, ia bisa menghancurkan. Tapi bila dikendalikan, ia menjadi kuda penarik menuju kebaikan.
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا ﴿٧﴾ فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا ﴿٨﴾
“Dan jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. Asy-Syams: 7–8)
2. Akal (العقل): Cahaya Pertimbangan
Akal adalah alat untuk mengenal kebenaran. Ia bukan musuh iman, tapi sahabatnya. Akal yang jernih akan membawa manusia pada pemahaman mendalam tentang diri dan Tuhan. Tapi akal yang disetir nafsu bisa menjadi alat pembenaran dosa.
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal.” (QS. Az-Zumar: 42)
3. Ruh (الروح): Inti Kehidupan Spiritual
Ruh adalah unsur yang paling halus dan luhur. Ia tidak bisa disentuh oleh sains, hanya bisa dirasakan oleh hati. Ruh membawa manusia pada rasa kerinduan kepada yang Maha Tinggi. Ketika ruh aktif, manusia merasa hidup dengan makna.
4. Qalb (القلب): Hati Spiritual
Qalb adalah pusat rasa dan iman. Di sinilah cahaya hidayah diturunkan. Jika qalb bersih, ia menjadi tempat turunnya makrifat dan cinta Ilahi. Tapi jika qalb kotor, ia menolak cahaya walau mata melihatnya.
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَـٰكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46)
Cara Mengenal Diri
Karena begitu urgennya mengenal diri, maka berikut beberapa jalan praktis untuk mendapatnya:
1. Kontemplasi diri (muhasabah) – Merenung tentang siapa kita, apa motif kita, dan ke
mana kita ingin pergi.
2. Berfikir tentang eksistensial – Pikirkan pertanyaan besar: Siapa aku? Apa yang membuatku hidup? Apa yang membuatku takut?
3. Berzikir dan meditasi – Duduk diam, hadapkan hati, ulangi nama-nama Agung Tuhan. Di dalam hening itu, suara diri bisa terdengar jelas.
4. Membaca kitab-kitab yang menghidupkan jiwa – Misalnya Ihya’ Ulumuddin, Futuhat Makkiyah, atau buku-buku penunjang seperti filsafat eksistensial dan lainnya.
5. Mengamati reaksi diri – Lihat bagaimana kita marah, sedih, senang, iri. Itu semua cermin dari bagian diri yang perlu disadari.
Diri adalah Ladang Kehidupan
Mengenal diri adalah perjalanan yang tak pernah selesai, tapi setiap langkahnya memperdalam cinta, makna, dan penghambaan. Semakin dalam kita masuk ke dalam diri, semakin kita temukan bahwa diri kita berasal dari Sang Khaliq dan sedang berjalan menuju kembali kepada-Nya.
Maka, marilah kita berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia, duduk hening, dan menatap ke dalam. Karena bisa jadi, di balik keruhnya diri yang selama ini kita hindari, tersembunyi cahaya yang paling murni, pantulan dari wajah Tuhan. Wallahu a’lam
*** Penulis adalah Dosen UMSU dan Majelis Tabligh PWM Sumut

