Medan, InfoMu.co – Ketua Forum Dekan FH/STIH Perguruan Tinggi Muhammadiyah Dr. Faisal SH MHum meminta BPIP mencabut aturan yg diduga bersifat diskriminatif dan melanggar HAM terkait atribut pakaian dan sikap tampang anggota Paskibraka.
Dr Faisal, SH. M.Hum yang juga Dekan Fahum UMSU mengatakan, lepas jilbab anggora Paskibraka, saat pengukuhan oleh Presiden sebagai bentuk tindakan diskriminatif, melanggar HAM dan tidak taat asas. Polemik lepas jilbab anggota paskibraka saat pengukuhan oleh Presiden telah di jawab oleh BPIP.
BPIP telah memberikan penjelasan terkait anggota Paskibraka tidak menggunakan jilbab saat pengukuhan, bukan sebagai unsur paksaan melainkan kesukarelaan mereka, jelas tidak menjawab dan menyelesaikan persoalan.
Bahwa yg menjadi persoalan aturan yang menjadi pedoman standard atribut, pakaian dan sikap tampang yg dikeluarkan BPIP, yg mengacu kepada : SURAT EDARAN DEPUTI BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BADAN PEMBINAAN IDEOLOGI PANCASILA NOMOR 1 TAHUN 2024 TENTANG PEMBENTUKAN PASUKAN PENGIBAR BENDERA PUSAKA TINGKAT KABUPATEN/KOTA DAN PROVINSI TAHUN 2024 yang harus dipatuhi anggota Paskibraka saat bertugas, karena dengan aturan tersebut mau tidak mau adik-adik anggota paskibraka harus patuh, karena jika tidak mematuhi tentunya akan ada konsekwensi bagi mereka.
Kata Faisal, bahwa kebinekaan tidak harus sama dan seragam, kebinekaan harus menghormati perbedaan dan keaneka ragaman dan keyakinan setiap orang.
Seyogyanya setiap peraturan yang di buat harus memiliki landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Jelas aturan terkait atribut pakaian dan sikap tampang bagi anggota paskibraka yang dijelaskan BPIP nenjawab polemik lepas jilbab anggota paskibraka tidak mencerminkan 3 landasan pembentukan peraturan perundang2an.
Bahwa Landasan filosofis dari peraturan perundang-undangan tidak lain adalah berkisar pada daya tangkap pembentukan hukum atau peraturan perundang undangan terhadap nilai-nilai yang terangkum dalam teori teori
filsafat maupun dalam doktrin filsafat resmi dari sebuah negara, seperti Pancasila.
Landasan sosiologis ini mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk harus mencerminkan kenyataan hidup dalam masyarakat dan merupakan aspirasi masyarakat. Dengan kata lain bahwa
diharapkan peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima oleh masyarakat secara wajar, bahkan dengan spontan, bukan sebaliknya, penerimaan masyarakat atas suatu peraturan lebih disebabkan oleh keterpaksaan.
Landasa yuridis ini sangat penting dalam pembentukan peraturan karena akan menunjukkan:
a) Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundangundangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat badan atau pejabat yang berwenang.
b) Keharusan adanya kesesuaian bahwa atau jenis peraturan perundangundangan dengan materi yang diatur.
c) Keharusan mengikuti tata cara tertentu, misalnya; setiap undangundang harus di undangkan dalam Lembaran Negara.
d) Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Selain itu dalam pembentukan setiao oeraturan perlu memperhatikan asas baik bersifat formil maupun materil.
Oleh karena itu Forum Dekan/Ketua STIH Perguruan tinggi Muhammadiyah meminta aturan-aturan yang bersifat disjriminatif dan melanggar HAM harus di cabut. (Syaifulh)

