• Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
Infomu
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
Infomu
No Result
View All Result
Kolom Safrin Octora:  Namanya ‘B’

Safrin Octora

Kolom Safrin Octora :Antara Sarung dan Celana Panjang (Pantalon)

Syaiful Hadi by Syaiful Hadi
21 September 2020
in Kabar, Kolom
86

Antara Sarung dan Celana Panjang (Pantalon)

Oleh : Safrin Octora

Secara tradisi saya dilahirkan dari keluarga Muhammadiyah. Bapak, ibu saya hingga akhir hayat adalah aktivis Muhammadiyah dan Aisyiyah. Sebagai aktivis Muhammadiyah, mau tidak mau tradisi yang dikenalkan adalah tradisi Muhammadiyah. Salah satunya adalah shalat dengan menggunakan celana panjang (pantalon). Itu selalu saya lihat sejak lama ketika Bapak saya pergi shalat ke masjid. Berpantalon (celana panjang), tanpa pernah memakai kain sarung.

Hal itu juga berlaku di mesjid dekat rumah tempat saya biasa shalat. Jamaah jamaah berpantalon adalah bagian dari dinamika  masjid Taqwa, nama masjid dekat rumah tersebut. Jamaah berpantalon itu termasuk saya.

Menilik dari sejarah, penggunaan pantalon untuk shalat adalah sebuah revolusi dalam tradisi pelaksanaan ibadah agama, khususnya shalat. Umumnya sejak dahulu, kain sarung telah menjadi bagian dari dinamika budaya beribadah shalat, paling tidak di Indonesia. Menilik dari aturan agama, tidak ada hadist nabi ataupun perintah di Al-Quran, yang mengharuskan seseorang itu harus menggunakan kain sarung atau pantalon ketika shalat. Aturan  yang jelas tentang shalat adalah berkaitan dengan perintah menutup aurat dan penggunaan pakaian bersih dan suci.

Namun ketika Kiai Haji Achmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yogyakarta, salah satu yang diwarisinya adalah pola berpakaian ketika shalat untuk laki-laki yaitu menggunakan pantalon. Pewarisan penggunaan pantalon ini dilakukan sang Kiai, karena pergaulannya dengan aktivis Budi Utomo. Meski bergerak dalam organisasi keagamaan, Kiai Dahlan adalah juga anggota  Budi Utomo yang didirikan oleh Dr. Soetomo pada tahun 1908.

Budi Utomo sebagai organisasi pergerakan kebangsaan banyak diikuti oleh aktivis-aktivis yang mengalami pendidikan di sekolah sekolah dan perguruan tinggi milik Belanda, seperti Stovia – perguruan tinggi kedokteran Belanda.  Alumni-alumni sekolah sekolah Belanda ini sudah terbiasa menggunakan pantalon, dalam kegiatan sehari-hari. Penggunaan pantalon di organisasi Budi Utomo itu kepada semua anggota dan aktivis bertujuan untuk menempatkan para aktivis menjadi bangga dan tidak merasa minder ketika berhadapan dengan penjajah Belanda.

Hal itu juga dilakukan oleh Kiai Achmad Dahlan. Penggunaan pantalon dalam kegiatan sehari hari merupakan cara untuk menaikkan moral pendukung pendukung persyarikatan Muhammadiyah. Penggunaan pantalon itu juga berlanjut ketika menunaikan ibadah shalat.

Akibat dari semua itu, penggunaan pantalon untuk ibadah shalat identik dengan tradisi Muhammadiyah. Sehingga pada mesjid-mesjid Muhammadiyah, sudah lazim terlihat orang-orang shalat berjamaah dominan menggunakan pantalon, meski tidak tertutup kemungkinan beberapa jamaah tetap menggunakan kain sarung.

Hal itu juga terjadi pada saya. Sejak  mulai menggunakan celana panjang sewaktu SMA, saya tidak pernah menggunakan kain sarung ketika shalat. Kepraktisan, kedinamisan, dan tidak ada aturan di dalam agama yang melarang penggunaan pantalon, menyebabkan tradisi itu mengakar dalam kehidupan saya.

Namun semua berubah ketika saya mendapat kesempatan menunaikan ibadah haji pada tahun 2016. Banyak jamaah haji Indonesia khususnya dari pulau Jawa menggunakan kain sarung ketika beribadah dan aktivitas lainnya.  Itu misalnya dapat terlihat di bandara ketika rombongan jamaah tiba, thawaf, sai, hingga melontar jumrah, penggunaan kain sarung merupakan suatu hal yang biasa. Warna warni kain sarung, mengidentikkkan rombongan itu adalah jamaah haji dari Indonesia.

Salah satunya adalah jamaah haji yang tinggal di hotel  yang sama dengan saya, dari salah satu kloter (kelompok terbang) dari pulau Jawa. Namanya  saya lupa. Entah kenapa, meskipun berbeda kloter, namun kami sering pergi bersamaan. Ketika berangkat ke Masjidil Haram, tidak disengaja bis shalawat yang kami tumpangi sama. Itu bukan hanya terjadi sekali, tetapi berkali-kali. Si Mas Jawir  (saya memanggilnya Jawir,  karena tidak  tahu namanya)  tetap menggunakan kain sarung, dengan corak yang berbeda-beda. Bahkan ketika melontar jumrah – ketika tidak menggunakan ihram dan banyak jamaah nyaman berjalan dengan menggunakan pantalon  – si Mas Jawir melangkah pasti dan bangga dengan menggunakan kain sarung, persis seperti iklan “Bangga Bersarung ……..”.

Kenyataan ini menarik perhatian saya. Dalam suatu kesempatan yang tidak disengaja, saya bertemu kembali dengan si Mas Jawir ketika sama-sama jalan ke Masjidil Haram dari terminal bis shalawat. Saya menanyakan kebiasaannya menggunakan kain sarung itu, dan hambatan yang terjadi ketika turun dan naik bis, ataupun mengejar bis ketika parkir agak jauh.
“Enak lho, Mas, pakai sarung”, jawabnya santai ketika saya menanyakan perihal penggunaan kain sarung.
“Yang penting diikat pakai ikat pinggang, kalau nggak kan bisa jatuh melorot”, lanjutnya.
“Lagi pula, celana panjang saya bawa cuma dua. Lainnya ya kain sarung. Ada 30 sarung yang saya bawa. Tiap hari harus dipakai bergantian ketika shalat ke Masjidil Haram”, jelas si Mas Jawir panjang lebar.

Dari beberapa pustaka yang saya baca, di beberapa wilayah di pulau Jawa, masih ada kebiasaan untuk memberikan kain sarung kepada kerabat atau jiran tetangga yang akan pergi haji. Pemberian itu bermacam-macam. Kalau pemberian kain sarung itu dua buah, maka satu buah harus dikembalikan oleh si jamaah ketika kembali dari menunaikan ibadah haji. Kain sarung yang dikembalikan kepada si pemberi itu, harus sudah dipakai ketika shalat di Masjidil Haram, masjid Nabawi maupun ketika melontar jumrah.   Kondisi ini menyebabkan si jamaah harus menggunakan kain sarung secara bergantian, ketika pergi shalat ke Masjidil Haram, Masjid Nabawi, maupun thawaf dan melontar jumrah. Jadi wajar kalau si Mas Jawir kawan saya satu hotel selalu menggunakan kain sarung ketika pergi beribadah.

Mendengar penjelasan si Mas Jawir, besoknya saya mencoba menggunakan kain sarung ketika pergi shalat subuh ke Masjidil Haram. Istri saya mencoba untuk protes ketika melihat saya menggunakan kain sarung. Namun tidak saya hiraukan..

Ternyata benar kata, si Mas Jawir. Tidak ada hambatan apapun yang saya alami ketika menggunakan kain sarung sewaktu beribadah di Masjidil Haram. Begitu juga ketika menaiki bus shalawat yang berwarna merah itu. Semua berjalan mulus. Namun karena kain sarung yang saya bawa cuma dua, mau tidak mau harus bergantian itu-itu saja. Satu dipakai. Satu dicuci.

Memakai kain sarung itu terus berlanjut hingga ke Madinah, ketika menunaikan ibadah arbain, sebelum kembali ke Indonesia. Bahkan ketika antre masuk ke Raudah pun saya tetap memakai sarung.

Kebiasaan memakai kain sarung itu terus berlanjut ketika saya telah kembali dari menunaikan ibadah haji. Ketika saya ikut shalat berjamaah di mesjid dekat rumah, saya selalu menggunakan kain sarung, diantara jamaah-jamaah lain yang berpantalon. Dan itu berlangsung cukup lama, sejak 2016 hingga saat ini.

Namun Ramadhan ini ada  pertanyaan yang agak sedikit menyentak dari salah satu jamaah “Bang, sekarang sudah berubah ya, tidak Muhammadiyah lagi”, tanyanya.
“Kenapa ?”, tanya saya agak bingung.
“Sekarang abang kalau shalat selalu pakai sarung”, katanya.

Saya kaget. Namun memakluminya.

Ternyata kain sarung atau pantalon telah dianggap bagian dari ideologi agama, oleh sebagian orang.

Penulis Safrin Octora, Dosen FISIP USU, Pengamat Media tinggal di Medan

Bagikan ini:

  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
  • Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru) Surat elektronik
  • Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
  • Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak
Tags: kolomsafrin octora
Previous Post

Fauzan Azmi Hasibuan, Silvani Lika Damanik, Irwan Affandi Pimpin PC IMM Pematang Siantar

Next Post

Perhimpunan Dokter Paru Ingatkan Penyebaran Utama Covid melalui Droplet

Next Post
Aisyiyah Tetap Berkomitmen Tangani TBC di Masa Pandemi

Perhimpunan Dokter Paru Ingatkan Penyebaran Utama Covid melalui Droplet

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Beranda
  • Kabar
  • Literasi
  • Kolom
  • Kesehatan
  • Muktamar
  • Pendidikan
  • Redaksi
Call us: +1 234 JEG THEME

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.