Integrasi Hablun min-Allah dan Hablun min-Annaas dalam Membentuk Pribadi Utama
Oleh. Drs.H.Talkisman Tanjung, Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Mandailing Natal
اَلْـحَمْدُ لِلّهِ الَّذِيْ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله
وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ . وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى
رَسُوْلِ اللهِ نَبِيِّنَا مُحَمَّد وَعَلَى اَلِهَ وَ اَصْحَبِهَ وَمَنْ وَّالَاهُ اَمَّا بّعْدُ فَيَاعِبَدَاللهِ أُوْصِيْكُمْ وَأِيَّايَ
بِتَقْوَى االلهِ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَدْ فَازَالْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ : يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟
كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ لآأِلهَ اِلَّااللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ.اللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ .اللهُ اَكْبَرُكَبِيْرًا وَالْحَمْدُاِللهِ
كَثِيْرًا وَ سُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةَوَّاَصِيْلً
Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat Jamaah Shalat Idul Fitri Rahimakumullah.
Di pagi yang penuh kebahagiaan dan keberkahan kita hadir dilapangan ini untuk
memenuhi perintah Allah Swt, setelah satu bulan kita bersama dengan Ramadhan,
maka kepada kita di Sunnahkan untuk melaksanakan Shalat Idul Fitri sebagai
perwujudan dari kemenangan yang diperoleh setelah berjuang satu bulan penuh di
bulan Ramadhan. Dan hari ini sebagai hari kemenangan (faa-iziin) juga hari yang fitri
(suci) menandakan kita semua berada dalam kesucian dan ketakwaan. Hari di mana
takbir berkumandang, semua diliputi rasa bahagia dan senang, setelah satu bulan di
madrasah Ramadhan kita berjuang. Berjuang menahan haus dan dahaga, mengekang
hawa nafsu yang membara, dan mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Semua itu
mampu kita lewati dengan penuh keikhlasan hati, untuk meraih ridha ilahi. Tentunya
semua ini haruslah senantiasa kita syukuri sebagai hamba Allah yang tahu diri.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ
Jamaah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah.
Ramadhan 1444 H telah pergi meninggalkan kita, dan kepada orang-orang beriman
diperintahkan untuk berdo’a kepada Allah SWT agar diberikan umur yang panjang
sehingga bisa bertemu kembali dengan Ramadhan ditahun yang akan datang.
Perasaan bahagia yang terlihat diraut wajah orang beriman tetap saja tidak dapat
menutupi kesedihan berpisah dengan Ramadhan, betapa tidak satu bulan penuh
kebersamaan yang totalitas telah terjalin begitu indah dan romantis, tiba-tiba saja
berakhir dan ramadhan segera pergi meninggalkan kita semua. Dan sa’at ini kita telah
berada dibulan Syawal, hari raya ‘Iedul Fitri, dimana hari ini merupakan hari yang
bersejarah dalam perjalanan hidup kita kedepan. Perjalanan hidup pribadi utama, yaitu
insan muttaqiin yang menjadi sasaran utama disyari’atkannya puasa Ramadhan.
Idul Fitri itu diibaratkan sebagai lembaran kertas putih. Tak ada kotoran atau noda
yang menempel sehingga terlihat bersih. Seperti air dari sumber mata air yang mengalir
jernih. Dan kesucian ini seharusnya kita jaga sekuat tenaga agar kertas dan air ini tak
ternoda. Kita hindari perbuatan-perbuatan dosa yang akan menempelkan noda, baik itu
dosa antar sesama terlebih dosa kepada Allah subhanahu wata’ala.
Pada kesempatan ini, usaha yang harus kita lakukan adalah, berusaha untuk
menguatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT yang merupakan tujuan utama
sekaligus buah dari perintah puasa di bulan Ramadhan. Sebagaimana ditegaskan
dalam ayat Al-Qur’an tentang perintah puasa ini yakni:
يٰٓاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Al-
Baqarah:183).
Sehingga bisa dikatakan bahwa hari ini, setelah kita melaksanakan ibadah puasa
dengan iman dan kepasrahan kepada Allah, maka karakteristik ketaqwaan sudah
seharusnya bersemayam dalam diri kita. Karakteristik itu di antaranya adalah
keteguhan hati untuk menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala yang
dilarang-Nya. Ramadhan telah melahirkan kesadaran fitrah kita sebagai hamba untuk
senantiasa mengabdi hanya kepada Allah SWT, dan itu merupakan implementasi
firman Allah didalam Surat Adz-dzaariyat : 56, dimana Allah SWT menyampaikan
statemen penciptaan manusia, bahwa tidaklah Allah ciptakan makhluk Jin dan
manusia, kecuali hanya untuk mengabdi semata-mata kepada-Nya.
Jamaah shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah
Momentum Idul Fitri kali ini juga menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk
mengumandangkan takbir sebagai wujud mengagungkan Allah SWT. Allah lah dzat
yang paling besar. Tidak ada yang lebih besar dari-Nya. Allah lah yang paling berhak
atas segala apa yang terjadi di alam semesta, termasuk apapun yang terjadi pada diri
kita. Kita adalah makhluk-Nya yang lemah tiada berdaya. Makhluk yang diciptakan dari
tanah yang proses penciptaannya memberikan pelajaran mendalam bagi kesadaran
tentang siapakah kita, di mana kita, dan akan kemana kita.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Mu’minun ayat 12:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ طِيْنٍ
Artinya, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (yang berasal) dari
tanah.” Kemudian dilanjutkan dengan ayat 13:
ثُمَّ جَعَلْنٰهُ نُطْفَةً فِيْ قَرَارٍ مَّكِيْنٍ
Artinya: “Kemudian, Kami menjadikannya air mani di dalam tempat yang kukuh
(rahim).”
Selanjutnya Allah SWT menjelaskan keagungan dan kekuasaan-Nya memproses
terbentuknya jasad dan ruh kita dalam ayat 14:
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظٰمًا فَكَسَوْنَا الْعِظٰمَ لَحْمًا ثُمَّ
اَنْشَأْنٰهُ خَلْقًا اٰخَرَۗ فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَۗ
Artinya: “Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang menggantung (darah). Lalu,
sesuatu yang menggantung itu Kami jadikan segumpal daging. Lalu, segumpal daging
itu Kami jadikan tulang belulang. Lalu, tulang belulang itu Kami bungkus dengan
daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci
Allah sebaik-baik pencipta.”
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ
Karena itu, jamaah shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah
Mari jadikan Idul Fitri kali ini sebagai ajang untuk merenung, berfikir dan sekaligus
bermuhasabah, terutama tentang kebesaran Allah SWT, dan sekaligus bertekad untuk
menjaga kesucian diri kita. Setelah melalui kawah candra dimuka perjuangan dan
pendidikan di bulan Ramadhan, kita harus mampu menjadi pribadi utama yang
paripurna sebagai hasil gemblengan puasa Ramadhan satu bulan penuh.
Ketika kita berpuasa, kita berjuang menahan diri untuk tidak makan dan minum,
setelah puasa kita telah terlatih untuk membatasi nafsu makan dan minum kita,
sehingga kita berkomitmen untuk tidak memakan yang bukan hak kita. Ketika berpuasa
kita telah terbiasa dengan bibir kering karena kehausan, mata sayu karena keletihan
dan kurang tidur karena semalaman asyik bermunajat kepada Allah SWT dengan
berbagai amalan-amalan yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, demikian juga perut
kosong menahan lapar, semua itu haruslah menjadi performance kita kedepannya,
potret sosok orang beriman yang bertaqwa, sehingga jangan sampai ke depan tangan-
tangan kita kotor karena berbuat zalim dan mengambil hak orang lain, apalagi
merupakan harta kekayaan bangsa dan Negara ini.
Selama Ramadhan kita berusaha untuk bisa khusyuk dalam shalat, maka setelah
Ramadhan jangan sampai kita juga khusyuk merampas hak orang lain,apalagi harta
kekayaan bangsa dan Negara ini. Selama Ramadhan, kita terlatih membaca ayat-ayat
Al-Qur’an,membaca yang tersurat dan yang tersirat untuk mendalami Kitab Pedoman
Hidup kita, maka setelah selesai Ramadhan kita juga menjaga konsistensi membaca
yang tersurat dan yang tersirat itu. Jika di Ramadhan kita dididik untuk tampil menjadi
manusia yang jujur, maka setelah ramadhan jangan sampai kita menjadi orang yang
menipu dan menyakiti hati orang lain, jujur terhadap diri sendiri, kepada sesama dan
terutama kepada Allah SWT, Sebagaimana doa yang sering kita lantunkan:
اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا، وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ. ،وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً، وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
Artinya, ’Ya Allah, tampakkanlah kepadaku kebenaran sebagai kebenaran dan
kuatkanlah aku untuk mengikutinya serta tampakkanlah kepadaku kesalahan sebagai
kesalahan dan kuatkan pula untuk menyingkirkannya. (HR Imam Ahmad).
Maka, sudah saatnya kita istiqomah melakukan kebaikan dan amal sholeh kepada Allah
Ta’ala. Sudah saatnya kita hijrah menuju jalan yang di ridhoinya, dan sudah saatnya
kita memperbanyak istighfar serta mohon ampun kepada Allah Ta’la.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Kita perlu ingat bahwa sesama Muslim adalah bersaudara dalam naungan ridha ilahi.
Sudah semestinya harus saling berbuat baik kepada sesama dengan sepenuh hati.
Persaudaraan itu seperti hubungan tangan kanan dan tangan kiri. Walau berbeda dan
tidak sama, namun harus saling membantu, tak kenal iri dan dengki. Hubungan
keduanya selalu harmonis dan saling berbagi sekaligus saling melengkapi. Tangan kiri
tak akan menyakiti tangan kanan, begitupun sebaliknya. Perbedaan penetapan bulan
baru, apakah itu awal ramadhan, atau awal Syawal bukan menjadi penyebab retaknya
hubungan persaudaraan, dan bukan juga menjadi ajang olok-olokan yang
menyebabkan akan lahir rasa sakit hati dan ketidaknyamanan dalam kehidupan
beragama. Apalagi ada Pejabat publik yang tidak menghargai sama sekali perbedaan
keyakinan dalam mengamalkan Agama Allah ini, sehingga mengeluarkan surat
larangan atau tidak meberi izin menggunakan fasilitas-fasilitas umumyang akan
digunakan untuk melaksanakan shalat Idul Fitri bagi jama’ah yang berbeda
keyakinannya dengan Pemerintah, ini adalah potret pejabat yang tidak toleran,tidak
mengerti Agama, suka menjilat, menjunjung yang diatas dan menginjak yang
dibawah.Semua itu merupakan cermin dari hasil puasa Ramadhannya yang jauh
panggang dari api.
Maka momentum bulan Syawal ini merupakan momen yang paling tepat bagi kita
semua untuk saling memaafkan, menebar kasih sayang, menghidupkan rasa welas
asih, dan membangun kebersamaan agar keberkahan dan kebahagiaan itu bisa
didapatkan bersama. Jangan sampai dengan berbedanya keyakinan dan pemikiran,
justru menjadikan permusuhan dan dendam yang mendalam.
Pada momen syawal ini, mari kita hilangkan prasangka buruk kepada siapapun apalagi
kepada Allah SWT, mari kita buang jauh-jauh sikap iri dan dengki yang menyebabkan
terjadinya ketidakharmonisan dalam pergaulan sesama, dan mari hilangkan rasa
egoisme didalam diri kita, perasaan benar sendiri atau merasa paling benar, sementara
orang lain salah atau keliru, apalagi menuduh sesat atau bid’ah, dan sebagainya. Inilah
saatnya kita saling memaafkan, saling menolong, saling kasih sayang terhadap sesama
dan saling menebar manfaat bagi sesama dan alam semesta . Sebagaimana yang
digambarkan dalam Qs. Ali Imron; 103. Allah SWT Berfirman;
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْاوَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ
بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ
Artinya: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga
dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.”
Jamaah shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah.
Didalam kitab Riyadhush-Shaalihiin ada sebuah hadits yang semestinya menjadi alarm
dalam hidup dan kehidupan kita, yaitu potret tentang kondisi seorang mukmin yang baik
dan ta’at dalam berhubungan dan beribadah kepada Allah, namun berantakan
hubungannya dengan sesama manusia.
Dalam hadist shohih itu dikisahkan bahwa dihari kiamat nanti akan datang seorang
hamba dengan membawa pahala-pahala kebaikannya yang telah diperjuangkan
dengan maksimal selama hidup diatas dunia, namun oleh Rasulullah malah disebut
sebagai orang yang bangkrut :
Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabatnya:
أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ
Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?”
قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ
Para sahabat menjawab; ‘Menurut kami, orang yang bangkrut diantara kami adalah
orang yang tidak memiliki uang dan harta kekayaan.
فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ
Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang
pada hari kiamat datang dengan shalat, puasa, dan zakat.
وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا
tetapi ia selalu mencaci-maki, menuduh, dan makan harta orang lain serta membunuh
dan menyakiti orang lain.
فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ
Maka pahala kebaikannya, pahala sholatnya, pahala puasanya, pahala zakatnya,
pahala hajinya dan pahala amal ibadahnya Allah berikan kepada orang yang dulu
mereka sakiti dan mereka dholimi.
Dan andaikan pahala kebaikan tersebut habis??
فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ
Maka dosa dosa dari orang yang mereka pernah sakiti tersebut, Allah berikan kepada
orang yang pernah menyakiti dan mendholimi.
فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
hingga akhirnya, orang yang mencaci, orang yang mendholimi, orang yang pernah
makan harta orang lain, dan orang yang membunuh tadi. Allah lemparkan mereka
kedalam neraka (HR. Muslim, No. 4678).
Maka, pada momentum idul fitri ini, mari kita bersama saling memaafkan, meminta
maaf kepada mereka yang pernah kita sakiti dan memberikan maaf kepada orang yang
pernah menyakiti kita. Mengapa maaf menjadi penting? Karena dosa seseorang yang
dilakukan kepada sesama manusia tidak akan diampuni oleh Allah tanpa pemberian
maaf dari orang yang pernah disakiti.
Jika kita pernah berbuat dosa kepada Allah, pernah berbuat kemaksiatan kepada Allah,
pernah meninggalkan kewajiban dalam ibadah kita kepada Allah. Jika ada kesadaran
untuk mohon ampun kepada allah dan bertaubat, maka insyaallah Allah akan ampuni
dosa kita.
Tetapi, jika kita pernah berbuat zholim, pernah mencaci, pernah memfitnah, pernah
melakukan kejahatan yang kita lakukan kepada sesama manusia dengan menyakiti
mereka, maka jalan yang terbaik adalah meminta maaf kepada yang bersangkutan dan
mengembalikan haknya yang telah kita ambil dan bertaubat kepada Allah. Yang
menjadi persoalan cukup rumit adalah ketika harta kekayaan milik bangsa dan Negara
ini yang diambil, dikorupsi, dan digelapkan, tentu disamping harus dikembalikan kepada
Negara sebagai pemilik kekayaan itu, namun secara bersamaan harus meminta ma’af
kepada seluruh anak bangsa ini. Betapa mengerikan dan menakutkan. Tindakan pamer
kekayaan, pamer barang-barang mewah dihadapan publik, telah menyakiti hati seluruh
masyarakat, terutama yang berada dalam posisi kelompok yang tidak beruntung, maka
konsekwensinya adalah meminta ma’aflah kepada masyarakat yang tersinggung
tersebut, apalagi yang dipamerkan itu malah hasil korupsi, hasil mark up anggaran,
atau hasil dari penipuan dan manipulasi. Jika kasusnya seperti ini solusinya adalah
bertaubat, dengan taubatan nashuha.
Imam An-Nawawi dalam kitabnya “Riyadus Shalihin”. memaparkan bahwa pertaubatan
untuk perbuatan maksiat yang terjadi sesama manusia, dilakukan dengan empat
tahapan.
Pertama, bertaubat dan berhenti dari perbuatan tersebut. Kedua, menghadirkan
penyesalan dalam diri atas kesalahan dan kemaksiatan yang pernah dilakukannya.
Ketiga, berniat sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Dan
keempat yang terakhir adalah mengembalikan tanggungan atau hak-hak yang telah kita
ambil dari orang yang telah kita sakiti. Dalam kitabnya, Imam An Nawawi juga
memaparkan sebagai berikut:
وأَنْ يَبْرَأَ مِنْ حَقِّ صَاحِبِهَا، فَإِنْ كَانَتْ مَالاً أَوْ نَحْوَهُ رَدُّهُ إِلَيْهِ،
Jika tanggungan itu berupa harta atau sejenisnya, maka wajib mengembalikan harta itu
kepada yang berhak
وَإِنْ كَانَتْ حَدَّ قَذْفٍ وَنَحْوَهُ مَكَّنَهُ مِنْهُ أَوْ طَلَبَ عَفْوَهُ،
Jika berupa tuduhan, berupa berita bohong dan berupa fitnah, maka hendaklah
mencabut tuduhannya tadi serta klarifikasi bahwa itu adalah fitnah / kabar bohong. Lalu
meminta maaf kepada yang bersangkutan
وَإِنْ كَانَتْ غِيْبَةً اِسْتَحَلَّهُ مِنْهَا
Dan jika berupa pengumpatan, cacian, hinaan dan ghibah. maka hendaklah meminta
maaf kepadanya.
Itulah penjelasan Imam An-Nawawi tentang pertaubatan atas maksiat seorang hamba
yang menyakiti sesama manusia.
Hadirin yang dirahmati Allah,
Pengabdian seorang hamba akan menjadi sempurna apabila hablun min-Allah
terintegrasi dengan hablun min-Annaas, dan itu dididik, dibina, dan dilatihkan kepada
orang beriman selama bulan Ramadhan. Sehingga seluruh bentuk ritual ibadah yang
disyari’atkan Allah SWT kepada orang beriman akan dapat mencapai dua target besar
yaitu ; Keshalehan Individual dan Keshalehan Sosial. Apabila seseorang hanya mampu
menjadi orang yang shalkeh secara individual, maka inilah orang-orang yang disebut
Rasulullah SAW sebagai orang yang bangkrut itu.
Semoga, dengan selesainya kita menjalani aktivitas amaliah di Ramadhan
kemaren,Kita dibina, ditempa dan detraining secara total, hendaknya kita dapat
menjadi pribadi yang lebih baik dalam beribadah kepada Allah, dan membawa kebaikan
sosial yang lebih bermanfa’at dalam kehidupan kita. Amin.Jadilah kita menjadi orang
yang menang, tetapi sekaligus jangan menjadi pemenang yang lupa diri, sehingga
menyebabkan keperibadian kita akan kembali ke titik nol.
Mengakhiri khutbah ini, marilah kita tingkatkan ketaqwaan kepada Allah dan bermohon
hanya kepada Allah SWT, dan yakinlah bahwa hanya Allahlah yang bisa mengabulkan
permohonan hamba-hambaNya.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ
إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ. اَللَّهُمَ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ
وَأَرْخِصْ أَسْعَارَهُمْ وَآمِنْهُمْ فِيْ أَوْطَانِهِمْ. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا،
وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشُنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِيْ إِلَيْهَا مَعَادُنَا، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ
زِيَادَةً لَنَا فِيْ كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا
الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ.
اَللَّهُمَّ افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى
الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْن وَسَلَامٌ عَلَى
المُرْسَلِيْنَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Wassalaamu ’alaikum wr wb.

