Polemik Pendidikan Di Tengah Pandemi
Oleh: Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum
Pandemi Covid-19 tidak hanya meluluhlantakkan perekonomian suatu negara melainkan juga berpengaruh pada pendidikan. Bagaimana tidak, kondisi pandemi Covid-19 ini mengakibatkan perubahan yang luar biasa di bidang pendidikan. Selama tiga bulan terakhir, seluruh jenjang pendidikan ‘dipaksa’ bertransformasi untuk beradaptasi secara drastis melakukan pembelajaran dari rumah melalui media daring (online). Proses belajar mengajar antara pendidik dan peserta didik yang semula dilakukan melalui interaksi langsung kini tidak lagi dapat dilakukan. Interaksi langsung di ruang kelas antara guru dan murid harus dibatasi bahkan ditiadakan sama sekali demi mencegah penyebaran virus. Pandemi menunjukkan secara jelas ketimpangan murid, guru, dan berbagai sarana pendidikan di seluruh Indonesia.
Akibat pandemi, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pun secara mendadak harus dijalankan dengan menggunakan sistem belajar jarak jauh melalui jaringan internet atau daring. Pendidik dan peserta didik yang terbiasa melakukan KBM dengan interaksi langsung di ruang kelas, suka tidak suka, harus menyesuaikan diri dan menerima metode belajar jarak jauh itu sebagai satu-satunya jalan dalam melaksanakan KBM. Dalam konteks inilah kualitas KBM dan lebih luas lagi kualitas pendidikan nasional kita mulai dipertanyakan. Apakah sudah efektif cara yang diberlakukan ini?
ndonesia dari Sabang sampai Merauke, tidak semua dapat menikmati berlakunya pendidikan via daring melalui telepon seluler. Tak sedikit masyarakat mengeluh akan anaknya yang tidak memiliki fasilitas lengkap untuk menjalani pendidikan secara online. Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Keminfo) saat ini masih ada 24.000 desa yang belum tersentuh akses layanan internet. Belum lagi data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mencatat masih ada sekitar 1 juta masyarakat di daerah-daerah pelosok di Indonesia yang belum memiliki akses listrik. Jika jaringan internet dan listrik saja tidak tersedia bagaimana proses belajar mengajar dapat terlaksana?. Tak ayal jika hal ini dibiarkan jelas sebuah pendidikan akan terancam.
Bilapun jaringan internet tersedia, berapa banyak keluarga yang tidak memiliki fasilitas telepon seluler, misalnya keluarga miskin yang hampir dipastikan mereka tidak memilikinya. Menilik data BPS menyebutkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang dari September 2019. Jadi jangankan di kampung-kampung, di kota saja ketersediaan perangkat baik oleh guru/sekolah apalagi oleh murid menjadi hambatan yang luar biasa.
Pertanyaannya apa yang dilakukan untuk menuntaskan itu? Seandainya sudah ada jaringan, ada fasilitas atau perangkat kemudian biaya yang dibebankan sedemikian besarnya menjadi tanggungan siapa? Ditambah begitu banyaknya yang masih gagap teknologi apalagi guru-guru yang sudah kategori senior. Begitu pula dengan kurikulum pendidikan nasional kita yang secara resmi dan komprehensif belum mengakomodasi dan mengadaptasi sistem belajar jarak jauh. Kondisi tersebut menimbulkan masalah tersendiri yang butuh solusi dan perbaikan serius.
Pendidikan merupakan sektor terpenting dalam sebuah bangsa, hal ini dikarenakan pendidikan menjadi sumber utama dalam pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia). Tanpa pendidikan, sebuah bangsa tidak berarti apa-apa, karena kunci kemajuan bangsa adalah pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang maju akan membuat bangsa tersebut maju karena hal ini didasari dari sifat pendidikan yang mendidik setiap generasi dan menjadikan setiap individu mempunyai kemampuan yang beragam. Lalu bagaimanakah dengan orang-orang yang masih tidak bisa menikmati pendidikan yang layak?. Pendidikan tetap harus berjalan karena ia merupakan hak dasar bagi setiap manusia, jika segala kekacauan ini terus melanda, maka siapa sepatutnya perlu disalahkan?.
Proses belajar mengajar yang masih belum optimal ini tidak berubah sejak Surat Edaran Mendikbud nomor 36962/MPK.A/HK/2020 diterbitkan Maret lalu. Harusnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah mengantongi hasil evaluasi bagaimana kegiatan belajar mengajar berjalan selama tiga bulan terakhir dengan konsep pembelajaran jarak jauh dan dalam jaringan (daring). Namun sayangnya,
Mendikbud Nadiem Anwar Makarim malah memberikan perhatian lebih kepada Program Organisasi Penggerak (POP) yang sontak menuai kontroversi. Dari program POP ini Nampak bahwa pemerintah hanya menggunakan kacamata kota besar sementara anak-anak lain yang tersebar di berbagai pelosok tanah air yang haknya untuk sekolah itu dan perintah Konstitusi harusnya dibiayai nampaknya akan menjadi korban, karena kebijakan diskriminatif ini.
Diketahui, sekitar Rp595 miliar per tahun telah dianggarkan Kemendikbud demi menyokong POP yang menjadi bagian dari misi Merdeka Belajar Episode IV. Dana tersebut akan dikucurkan kepada organisasi masyarakat terpilih untuk menjalankan program-program pelatihan guru dan kepala sekolah agar memiliki kompetensi menciptakan anak didik berkualitas dalam segi ilmu maupun karakter. Dasar hukum dari pelaksanaan program ini adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 32 Tahun 2019 tentang Pedoman Umum Penyaluran Bantuan Pemerintah di Kemendikbud. Serta, Peraturan Sekjen Kemendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Bantuan Pemerintah Untuk Pengembangan Mutu Guru dan Tenaga Kependidikan. Suasana saat sekarang adalah suasana tidak normal. Lah dasar kebijakan POP ini terkesan tidak dipandang penting padahal alokasi anggaran minimal 20 % sesuai Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Harusnya landasan hukum penyelenggaraan pendidikan pandemi ini didasarkan pada UU, akan tetapi karena itu nampaknya sulit, maka alternative nya Perppu atau minimal Perpres bukan Permen.
Secara umum, besar bantuan dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan banyak sasaran satuan pendidikan: 1. Kategori I (Gajah) dengan sasaran lebih dari 100 satuan pendidikan, dapat memperoleh bantuan maksimal Rp 20 miliar per tahun; 2. Kategori II (Macan) dengan sasaran 21 sampai dengan 100 satuan pendidikan, dapat memperoleh bantuan maksimal Rp 5 miliar per tahun; 3. Kategori III (Kijang) dengan sasaran 5 sampai dengan 20 satuan pendidikan, dapat memperoleh bantuan maksimal Rp 1 miliar per tahun. Alangkah lebih baik jika alokasi anggaran yang besar untuk POP itu dipergunakan untuk memenuhi fasilitas belajar daring.
POP sebenarnya cukup menarik. Penyaluran dana hibah mengharuskan calon penerima mengajukan proposal, maka menuntut pertanggungjawaban penggunaannya. POP ini digadang-gadang menjadi alternatif untuk meningkatkan kualitas guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Harapannya, dengan mengikutsertakan peran organisasi dapat mendorong hadirnya Sekolah Penggerak. Namun, dengan masuknya pihak swasta yang terafiliasi dengan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahan besar justru menimbulkan polemik.
Mundurnya kepesertaan beberapa organisasi pendidikan seperti seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, dan Lembaga Pendidikan Ma’arif PBNU secara tidak langsung menunjukan adanya masalah pada program Organisasi Penggerak. Penunjukan pihak ketiga-lembaga kajian dan penelitian SMERU Research Institute-untuk menentukan para penerima hibah dengan menggunakan double-blind review, yaitu metode yang menghilangkan identitas pemilik proposal, dalam proses seleksi menjadi alasan. Seolah-olah organisasi-organisasi tersebut disamakan dengan organisasi yang terafiliasi dengan korporasi semacam Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation.
Keberpihakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan korporasi, seakan menjadi bukti masifnya praktek kapitalisasi. Negara memilih berlepas tangan dengan mengotak-ngotakkan kebijakan. Hal ini merupakan satu dari banyaknya masalah yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme demokrasi yang diadopsi oleh banyak negara juga negeri ini. Jika sistemnya saja tidak memiliki pola pikir untuk mensejahterakan umat, bagaimana mungkin sistem tersebut dapat melahirkan kebijakan solutif?
Menteri yang masih muda dan energik dengan latarbelakang pendidikan yang membanggakan kita harapkan sejak awal mampu cekatan cepat membaca situasi dan memecahkan masalah sebagai karakter anak muda yang sudah sukses di bisnis, namun nampaknya apakah faktor birokrasi, regulasi atau bahkan kultur yang menjadi penghambat sehingga gerak cepat dan kelincahan untuk memecahkan masalah dunia pendidikan kita itu dapat tersaji dengan tuntas apalagi ditambah suasana pandemi ini.
Dunia pendidikan di Indonesia seperti belum pernah lepas dari kata masalah. Niat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa pun seakan pupus. Keinginan untuk mereformasi model dan bahkan kurikulum pendidikan jelas terlihat dari statement Mendikbud di berbagai media. Tapi hingga kini konsep matang yang dapat untuk dilaksanakan tak kunjung terwujud. Sementara tujuan pendidikan yang ditegaskan oleh regulasi sudah mengalami pergeseran bahkan memunculkan polemik dan itu tampaknya harus segera dituntaskan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kalau boleh harus melebihi negara-negara maju namun di bidang sosial, humaniora apalagi agama mestinya tetap dan sepenuhnya menjalankan berbagai ajaran yang bersumber pada falsafah Pancasila dan agama-agama yang sudah berurat dan berakar itu, jangan coba mengganggu itu dengan atas nama kemoderenan apalagi hanya sekedar ingin kebarat-baratan. Budaya kita harus terus kokoh, tidak tergerus. Hemat saya dalam perang ideologi dan peradaban sekarang pun budaya Indonesia dengan keluhuran adat yang dipersatukan oleh Pancasila tak sekedar mampu menjawab pertarungan. Inilah yang harus ditanamkan kepada anak didik dan terus diwariskan nilai-nilainya yang sekarang nampaknya akan digerus oleh budaya lain atas nama kemajuan. Inilah tantangan bagi Presiden yang memberikan kepercayaan pada pembantunya tapi tampaknya mesti belajar sejarah bangsa ini.
Harapan untuk mencetak generasi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab sesuai dengan tujuan pendidikan nasional guna meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Pasal 31 ayat (3) UUD 1945) kiranya tak sekedar angan-angan belaka. Kemuajuan ilmu dan teknologi harusnya sudah bisa diterapkan di dunia pendidikan karena anggarannya sudah tersaji, namun muatan materi pendidikannya wajiblah sepenuhnya sesuai dengan konsep tokoh-tokoh pendidikan kita sebutlah Ki Hajar Dewantara, Ahmad Dahlan dll yang sudah dirumuskan melalui UU Sistem Pendidikan Nasional.
Patut diberi apresiasi permohonan maaf dari menteri sebab ini jarang terjadi. Namun ibarat kata pepatah “jangan sampai terjerembab kedua kalinya di lobang yang sama” maka berikutnya kita menunggu evaluasi cepat, cerdas dan tuntas guna membelanjakan anggaran pendidikan sesuai dengan perintah Konstitusi itu dalam rangka mencerdaskan anak bangsa yang adil, merata bukan sekedar mengambil potret kota. Ditunggu.
Penulis, Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum Dosen Fak. Hukum UMSU

