Ikhlas dan Analogi Buang Air Ala Cak Dlahom
Oleh Adam Chairivo
Pada dasaranya manusia itu suka sekali berharap dan harapan yang disukai banyak sekali coraknya. Namun pada kenyataanya harapan yang dibangun tidak sepenuhnya dapat terwujud dan pasti memiliki celah yang berakhir pada penyesalan dan kekesalan. Lantas mengapa manusia sering sekali seperti itu? Apakah mereka belum mahfum terhadap pola dunia yang fana ini? saya rasa jawabanya ada pada manusia tidak dapat ikhlas terhadap apa yang mereka sedang jalani dan mereka sedang harapkan. Jika ikhlas yang dimaksud tidak tertanam dalam diri, maka kemungkinan-kemungkinan buruk untuk menyesali perbuatan sehari-hari yang sedang dijalani dapat dengan mudah untuk meresapi jiwa dan raga ini.
Kalau begini saya jadi ingat dengan analogi sederhana dari buku yang saya beli di bazar buku sekitar dua tahun lalu. Buku bewarna biru muda itu kelihatan sangat menarik sekali, apalagi dengan covernya yang memiliki gambar seorang remaja tanggung menyingkapkan sarung di punggung dan menutupi wajahnya dengan kopiah hitam, menjadi salah satu dorongan bagi saya untuk membeli dan membacanya.
Setelah saya beli perlahan-lahan saya baca buku tersebut dengan seksama, pada akhirnya saya menemukan salah satu bagian yang saya anggap menarik dengan analogi yang agaknya menggelitik. Yaitu memaknai konsep ikhlas dengan pandangan nyeleneh sang tokoh utama dalam buku “Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya” karya Rusdi Mathari. Cak Dlahom sang tokoh utama dalam buku itu memberikan analogi tentang ikhlas yang rasanya kalau dipikir-pikir agak jorok tapi benar begitulah adanya.
Cak Dlahom menggambarkan makna ikhlas dengan analogi buang air, baik buang air besar ataupun buang air kecil. Katanya “ikhlas itu seperti kita buang air besar ataupun buang air kecil, Ketika kita melakukan hal tersebut kita tidak pernah menghtiung berapa kali kita buang air, berapa banyak kotoran yang kita keluarkan per hari, per minggu, per bulan, per tahun dan seterusnya.” Begitulah kiranya petuah Cak Dlahom yang saya pahami dalam buku tersebut.
Rasanya agak nyambung dengan kehidupan sehari-hari, ringan namun berat maknanya. Sederhananya analogi yang diberikan menampar siapa saja yang selalu mengeluarkan banyak kebaikan secara rutin dan menghitung-hitungnya dikemudian hari. Manusia yang terbiasa hidup pada pengharapan sudah sejatinya harus bisa lebih banyak belajar ilmu ikhlas agar hatinya tidak mudah goyah dan patah menjalankan dunia yang fana ini. Dengan kita ikhlas maka kita hanya menyerahkan semua keputusan di tangan Tuhan dan pasti keputusan yang rasanya tidak usah diragukan lagi. Ikhlas juga membentuk kita menjadi individu yang tahan banting dengan keadaan apapun yang menerpa kita.
Memang tak mudah untuk mengimplementasikan kata ikhlas di dalam kehidupan sehari-hari apalagi dengan sifat manusia yang pada dasarnya agak sulit untuk berdamai dengan keadaan sehingga sulit mengikhlaskan. Ya barangkali analogi Cak Dlahom ini dapat menuntunmu dengan pemahaman ikhlas dengan sederhana dan dapat diaplikasikain kedalam kehidupan sehari-hari.
Maka dari itu Ketika kita sedang melakukan beragam aktivitas dan berharap banyak terhadap sesuatu maka kita harus ingat dengan buang air yang sama sekali tidak pernah kita kuantitas yang dihasilkan. Hal itu mengalir begitu saja dan menjadi lega rasanya Ketika sudah selesai melakukanya.
Penulis, Adam Chairivo, Aktifis IMM Sumatera Utara

