Kekerasan simbolik juga dipahami sebagai suatu cara untuk memperlihatkan wujud dominasi dari kekuasaan simbolik. Media massa acap kali terlibat dalam proses pembingkaian untuk mengemas isu tertentu demi kepentinganya sendiri. Hal ini dipahami sebagai kontruksi semu yang diciptakan oleh media. Seiring dengan kemajuan teknologi yang pesat, ini akan berdampak pada pola hidup masyarakat yang akan cenderung untuk termakan oleh kuasa-kuasa simbolik yang sudah sediakala disajikan demi kepentingan pribadi yang menguntungkan sang pemilik kuasa. Penting untuk kita agar tidak mudah termakan oleh sajian tersebut entah itu dengan penggunaan bahasa yang nyata atau sekedar simbol yang kita sudah terdoktrin sebelumnya.
Kekuasaan simbolik dalam pandangan Bourdieu adalah kekuasaan yang diperoleh melalui hasil mobilisasi ekonomi dan fisik (Haryatmoko, 2003). Sebaliknya kekuasaan simbolik menurut Sumariella Rusdiati dengan mengutip Bourdieu mengatakan bahwa kekuasaan simbolik merupakan kekuasaan yang dipreoleh dari upaya (Memaksakan) pihak lain untuk memberikan pengakuan atas suatu tindakan praksis lewat pertarungan simbolik (Rosdiarti, 2003). Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan kekuasaan simbolik mempunyai hubungan erat dengan modal simbolik yang berupa prestise, status, otoritas dan legitimasi (Iskandar Zulkarnain, 2009). Menurut Bourdieu kalau selera manusia tidak netral, tetapi selalu terkait dengan citra manusia tertentu. Termasuk halnya bahasa dimana penggunaanya bersifat menular dari kelas atau kelompok sosisal yang satu kelainnya. Termasuk anggapan bahwa semakin hegemoni kekuasaan beroperasi makin efektif pula bahasa ditularkan pada mereka yang lemah (Bourdieu, 2014).
Kekuasaan simbolik semakin menemukan ranah perjuanganya jika terdapat mobilisasi sumber-sumber modal dalam perorganisasiaan sosial. Yang kemudian suatu dominasi kekuasaan simbolik sangat tergantung situasi, sumber daya, dan strategi individu atau kelompok (Haryatmoko, 2003). Dalam hal ini pesatnya perkembangan zaman dapat meningkatkan pertumbuhan penggunaan kuasa simbolik pada lingkungan masyarakat karena kuasa simbolik hadir dengan ranah yang termobilasi dengan mudah dengan sumber-sumber modal yang mendominasi. Peran media digital sangat mampu untuk menjadi kekuatan untuk mendominasi sesuatu dengan kuasa simbolik Media digital juga menjadi momok yang menakutkan jika masyarakat tidak jeli dalam memandang informasi dan mengerti dengan kuasa simbolik yang terjadi di masa kini.
Kuasa simbolik media digital dapat mempengaruhi elemen masyarakat karena sifatnya yang cenderung tidak terlihat dan mobilisasi pengaplikasianya sangat terikat erat dengan masyarakat. Karena fenomena ini dapat ditemui ketika kebanyakan masyarakat sudah bersahabat erat dengan kemajuan zaman dan sudah terlalu sering bercinta dengan gawai atau sarana lain yang mempermudah untuk mendekatkan diri pada kuasa simbolik yang mengharuskan kita terperangkap kedalam jeratanya tanpa kita sadari lewat penerapan media digitalisasi. Dominasi yang ditimbulkan akibat peran media digital akan terus berdampak pada segala sektor lini kehidupan bermasyarakat dan mudahnymobilsasi tadi akan sulit untuk mematahkan kekuasaan simbolik yang sudah terlanjur terdominasi oleh bantuan media digital
Beragam fenomena yang terjadi pada kasus kuasa simbolik dunia digital yang dapat dipelajari atau dicermati sepeperti halnya dengan pemberitaan suatu keadaan yang merujuk pada kasus tertentu yang merugikan satu pihak dan mudah sekali untuk menyebar kemana-mana karena modal yang dibangun melalui digitalisasi media. Alih-alih mendapatkan ruang media menanamkan pemaknaan yang cenderung diskriminatif melalui teks media.
Layaknya kasus pemberitaan media yang terjadi pada pemilahan presiden tahun 2019 dimana pertarungan media yang membentuk panggung kekuasaan, yang tadinya miskin perhatian, kini berubah mendadak berubah menjadi populer dibuatnya. Pemakaian simbol dan sebutancebong (Pendukung Joko Widodo) dan kampret (Pendukung Prabowo) menjadi simbol yang menjadi ajang untuk saling menguasai satu sama lain.
Pengguanaan simbol inilah yang dapat membuat perpecahan pada saat itu karena diusung dari masing-masing kelompok mendukung calon yang mereka usung ditambah pengguanaan media untuk menguasai isu membuat arena pertempuran politis ini semakin panas. Isu yang dibangun oleh masing-masing media dengan menjatuhkan pasangan calon presiden dari kubu cebong maupun kampret ini sukses menggiring masyarakat masuk ke dalam kuasa simbolik yang tanpa disadari rupanya melalui peran media dan dibangun dengan kemasan yang baik. Pada kenyaatanya isu yang dibangun belum tentu benar adanya dan hanya untuk kepentingan elit itu sendiri. Sialnya ketika masyarakat sudah termakan oleh sajian dan kemasaan yang sudah baik diciptakan oleh media digital kini kedua pasangan calon presiden saling mendukung satu sama lain dengan kedua pasang calon pada pemilihan presiden 2019 lalu masuk ke dalam jajaran petahana.
Kuatnya dominasi kekuasaan yang tercipta dari media digital mampu membingkai pemikiran yang terjadi di lingkungan sekitar mampu mengendalikan seseorang ataupun kelompok sesuai dengan para elit yang menciptakan isu dengan media digitalisasi. Pada akhirnya kita akan melihat bahwasanya media dengan kuasa simbolik peranya sangat mudah untuk menguasai diri dan kelompok tertentu. Bijak dalam menggunakan media sosial dan jeli terhadap isu yang terjadi dapat menjadi obat untuk menangkal diri pada kuasa ataupun kekerasaan simbolik yang termobilisasi oleh media digital.

