• Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
Infomu
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
Infomu
No Result
View All Result
Kolom Dr. Abdul Hakim Siagian: Pelindungan Hukum Masyarakat Adat

Dr. Abdul Hakim Siagian

Kolom Dr. Abdul Hakim Siagian: Pelindungan Hukum Masyarakat Adat

Syaiful Hadi by Syaiful Hadi
12 September 2021
in Kolom
86

 

Pelindungan Hukum Masyarakat Adat

Oleh : Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum

Masyarakat adat di Indonesia telah ada jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia berawal dari bersatunya komunitas-komunitas adat yang ada di seluruh wilayah Nusantara. Penonjolan keanekaragaman adat dan budaya Indonesia sebagai alasan penggunaan pakaian adat oleh Presiden Joko Widodo menjelang momentum peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Sejak 2017 lalu Presiden telah menjalankan ‘tradisi penggunaan pakaian adat’ dalam menyampaikan pidato kenegaraan maupun tatkala bertindak sebagai inspektur upacara kemerdekaan.

Beragam pakaian adat telah ‘diperlihatkan’ Bapak Jokowi dan kerap mengundang rasa penasaran publik karena pakaian adat yang dipakai selalu berbeda-beda setiap tahunnya. Bahkan diperingatan HUT Kemerdekaan RI ke -76 tampak Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggunakan pakaian adat minangkabau sewaktu bertindak membacakan teks proklamasi. Patut diberi apresiasi atas upaya pengenalan dan pelestarian adat yang plural di negeri ini oleh mereka yang menjadi pimpinan tertinggi pada institusinya, namun jangan sampai penggunaan pakaian adat hanya sebagai ‘formalitas’ pagelaran menjelang perayaan HUT kemerdekaan saja tanpa disertai upaya perlindungan hukum masyakat adat yang sampai dengan saat ini tak kunjung mendapat ‘perhatian khusus’ oleh negara.

Upaya pelindungan masyarakat adat di panggung internasional sejatinya sudah tampak hilalnya semenjak 9 Agustus tahun 1994, yang kemudian diperingati sebagai Hari Masyarakat Adat Sedunia. Tidak hanya itu, Pemerintah Republik Indonesia juga sudah ikut menandatangani dari 144 negara yang mendukung pengesahan Deklarasi PBB Tentang Hak-Hak MasyarakatAdat ( United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples atau UNDRIP) dalam Sidang Umum PBB tanggal 13 September 2007 yang mengakui perbedaan masyarakat hukum adat dengan masyarakat lainnya. Dalam Pasal 5 UNDRIP ditentukan sebagai berikut: Masyarakat adat mempunyai hak untuk menjaga dan memperkuat ciri-ciri mereka yang berbeda di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial dan institusi-institusi budaya seraya tetap mempertahankan hak mereka untuk berpartisipasi secara penuh jika mereka menghendaki, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya Negara. Akan tetapi sudah hampir 13 tahun sejak UNDRIP disahkan, Indonesia belum juga memiliki UU Masyarakat Adat. Sudah berkali-kali sejak 2013 RUU Masyarakat Adat keluar masuk Daftar Prolegas DPR RI. Hingga sampai hari ini, sekalipun para pemangku jabatan kerap tampil dengan memakai pakaian adat pada momentum HUT kemerdekaan ternyata tak jua memberikan pengaruh yang besar untuk disahkannya RUU ini. Padahal masyarakat hukum adat tidak hanya ingin dikenal pakaiannya saja melainkan juga dilindungi dalam suatu produk hukum yakni Undang-Undang.

Keberadaan masyarakat hukum adat telah dijamin oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI Tahun 1945). Pasal 18B ayat (2) UUD RI Tahun 1945 berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”. Selanjutnya ketentuan Pasal 28I ayat (3) berbunyi, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Kedua pasal tersebut dilengkapi Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUD RI Tahun 1945 berturut-turut berbunyi, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilainilai budayanya” dan “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”.

Makna pengakuan Pasal 18B ayat (2) UUD RI Tahun 1945 terhadap masyarakat hukum adat yang mana pengakuan tersebut diberikan oleh negara (a) kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimilikinya; (b) eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuankesatuan masyarakat hukum adat; (c) masyarakat hukum adat itu memang hidup (masih hidup); (d) dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula; (e) pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa; (f) pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bentuk pengakuan lain dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang memutuskan untuk lebih melindungi keberadaan masyarakat hukum adat khususnya yang berada dalam kawasan hutan adat. Namun pengakuan tertinggi dan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut belum cukup mengatasi permasalahan hukum atas pelanggaran hak-hak masyarakat adat. Sampai saat ini masih banyak masyarakat adat yang tergusur haknya atas kepentingan pihak tertentu. Tidak ada jaminan apapun terhadap hak masyarakat adat sebagai bagian dari Warga Negara Indonesia.

Terkait dengan keberadaan masyarakat hukum adat, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) menyatakan bahwa untuk lebih melindungi keberadaan masyarakat hukum adat khususnya yang berada dalam kawasan hutan adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU. Dalam putusan tersebut MK mengabulkan permohonan uji materi Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan. Namun MK menolak permohonan uji materi Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 67. Inti dari putusan MK tersebut ialah mengeluarkan hutan adat dari hutan negara dan memasukannya ke dalam hutan hak. Hal ini memberikan kegembiraan bagi masyarakat hukum adat. Namun Putusan MK hanya bersifat penetapan sehingga dengan demikian harus ditindaklanjuti dengan perubahan pasal-pasal yang dikabulkan. Dalam hal ini, peran DPR dan pemerintah sangat diharapkan untuk melakukan perubahan terhadap pasal-pasal tersebut.

Lon Fuller berpendapat terdapat 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum (Arief Sidharta, 2008: 8). Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut (1) Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturanperaturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk halhal tertentu; (2) Peraturan tersebut diumumkan kepada publik; (3) Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem; (4) Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum; (5) Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan; (6) Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan; (7) Tidak boleh sering diubah-ubah; (8) Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kepastian hukum atas pengaturan masyarakat adat harus dapat melindungi hak-hak masyarakat adat. Jika melihat bentuk pengakuan terhadap masyarakat adat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD RI Tahun 1945 bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan Masyarakat Hukum Adat yang diatur dalam undang-undang”. Sampai sekarang UU yang dimaksud dalam pasal tersebut, pengaturan keberadaan masyarakat adat masih tersebar dalam berbagai UU sektoral dan saling bertentangan seperti UUPA (bahwa Ruhnya berasal dari hukum adat); UU Kehutanan; UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa; UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Kepastian hukum juga dapat memberikan jaminan pada pemenuhan hak masyarakat adat untuk sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya. Hal tersebut dikarenakan masih banyak persoalan hukum yang melanggar hak masyarakat adat. Payung hukum untuk masyarakat adat dianggap penting sebagai pemenuhan hak-hak masyarakat adat oleh pemerintah. Sampai saat ini masih banyak perampasan lahan ruang di ruang hidup masyarakat adat oleh pemerintah dan perusahaan seperti 300 lebih konflik agraria yang melibatkan lahan jutaan hektar. Lahan yang seharusnya jadi ruang hidup masyarakat dirampas untuk perkebunan, pertambangan dan infrastuktur. Selain itu, masih terjadi kriminaliasi terhadap masyarakat adat. Lebih dari 200 masyarakat adat yang masih ada di penjara karena dituduh merampas lahan perkebunan. Mereka dituduh masuk hutan tanpa izin atau masuk konsesi lahan swasta (nasional. kompas.com, 11 Februari 2019). Sementara itu, di tengah kebijakan sumber daya alam yang eksplotatif, Masyarakat Adat di Indonesia membuktikan mampu menjaga dan melestarikan hutan seluas 574.119 hektar. Dengan demikian Masyarakat Adat memiliki peranan penting dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia. Praktik-praktik arif masyarakat adat dalam menjaga hutan adat terbukti mampu menjaga hutan tetap lestari.

Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), sampai Agustus 2020 telah terdaftar 863 peta wilayah adat dengan luas mencapai 11,09 juta hektar. Dari jumlah tersebut telah ada penetapan pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat seluas 1,5 juta hektar melalui peraturan daerah dan surat keputusan kepala daerah. Krisis agraria yang sistemik dan kronis akibat investasi bercorak kapitalistik terus-menerus melestarikan konflik agraria dan tenurial di tengah Masyarakat Adat. Merujuk data Aliansi Masyarakat Hukum Adata (AMAN), pada tahun 2019 terdapat 125 komunitas adat yang menjadi korban konflik sumberdaya dan tersebar di hampir sepertiga wilayah Indonesia. Sementara HuMa memperlihatkan bahwa di tahun 2018 merebak ratusan konflik sumberdaya alam yang melibatkan areal lahan seluas 2,1 juta hektar. Sedikitnya 176.637 warga adat menjadi korban atas konflik tersebut.

Sangat diperlukan pengakuan masyarakat hukum adat dengan adanya RUU Masyarakat Hukum Adat karena sampai sekarang masih terjadi perampasan tanah leluhur masyarakat adat, kurangnya representasi masyarakat adat di dalam birokrasi dan koridor kekuasaan negara. Masalah lain yaitu kegagalan mayoritas adat Indonesia untuk mendapatkan kartu identitas yang dikeluarkan oleh pemerintah karena tidak satu pun kepercayaan keagamaan di dalam negeri termasuk dalam salah satu dari enam agama utama yang tercantum dalam formulir aplikasi. Akhirnya Masyarakat adat tersebut terpaksa masuk ke salah satu dari enam agama yang diakui pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut. Masih banyak masyarakat adat yang berada di kepulauan yang luas yang terdiri dari lebih dari 18.000 pulau yang tidak dapat memberikan suara, memanfaatkan pendidikan umum dan perawatan kesehatan. (matapolitik.com, 9 Oktober 2017). Dari sekian banyak pelanggaran atas hak masyarakat adat tersebut, RUU Masyarakat Hukum Adat merupakan sebuah solusi untuk mengatasi semua permasalahan hukum atas hak masyarakat adat tersebut dan demi mencapai kepastian hukum atas keberadaan masyarakat adat.

Persoalan masyarakat adat lainya adalah diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan adat masih terjadi di dalam komunitas adat. RUU tentang Masyarakat Hukum Adat diharapkan menjadi satu kebijakan hukum yang mampu mengeliminasi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan adat. Selain itu, di dalam masyarakat adat terdapat hak-hak kolektif perempuan yang tidak terlindungi oleh beragam kebijakan di Indonesia. RUU tentang Masyarakat Hukum Adat juga diharapkan mampu melindungi hak-hak kolektif perempuan adat serta menjaminkan partisipasi perempuan adat di dalam pembangunan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya, ketiadaan sistem administrasi Masyarakat Adat mengakibatkan Masyarakat Adat, Wilayah Adat dan kearifan lokalnya tidak menjadi rujukan dalam keseluruhan sistem pengaturan tenurial dan perencanaan pembangunan. Akibatnya, Masyarakat Adat selalu dan akan menjadi korban pembangunan dan tidak terlindungi hak- haknya.
Keberadaan masyarakat hukum adat perlu mendapat perhatian khusus dari negara. Tidak bisa dipungkiri keberadaan masyarakat adat yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia bukan sebuah fiksi. Berbagai persoalan hukum terjadi terhadap masyarakat adat seperti perampasan lahan ruang di ruang hidup masyarakat adat oleh pemerintah dan perusahaan; diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan adat; perampasan tanah leluhur masyarakat adat; kurangnya representasi masyarakat adat di dalam birokrasi dan koridor kekuasaan negara; serta konflik kepemilikan lahan adat. Sudah saatnya negara memberikan pengakuan yang sebenarnya atas keberadaan masyarakat adat. DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat berperan dalam membentuk dan mengesahkan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat sehingga persoalan hukum atas pelanggaran hak masyarakat adat dapat diatasi. Pengesahan tersebut juga bertujuan memberikan kepastian hukum atas pemenuhan hak-hak masyarakat adat sebagai Warga Negara Indonesia.

Mudah-mudahan penggunaan pakaian adat dalam acara kenegaraan tidak hanya sekedar seremoni, ke depan dituntut membuat UU dan kebijakan yang menghargai dan melindungi masyarakat adat khususnya hak-hak ulayat mereka. Bahkan, dalam hal sumber pembentukan hukum nasional hukum adatlah yg menjadi utamanya. Saya yakin hukum adat kita mampu menjadi solusi atas problematika hukum dunia tentu itulah PANCASILA khususnya sila kedua itu, yakni kemanusian yg adil dan beradab. (***)

Penulis Dr. Abdul Hakim Siagian, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Utara, Dosen Fakultas Hukum USU dan UMSU

Bagikan ini:

  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
  • Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru) Surat elektronik
  • Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
  • Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak
Tags: abdul hakim siagiankolommasyarakat adat
Previous Post

Varian Delta Bertambah, Tujuh Daerah Zona Merah di Aceh

Next Post

Sastrawan Taufik Ismail Ikuti Vaksinasi di PP Muhammadiyah Jakarta

Next Post
Sastrawan Taufik Ismail Ikuti Vaksinasi di PP Muhammadiyah Jakarta

Sastrawan Taufik Ismail Ikuti Vaksinasi di PP Muhammadiyah Jakarta

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Beranda
  • Kabar
  • Literasi
  • Kolom
  • Kesehatan
  • Muktamar
  • Pendidikan
  • Redaksi
Call us: +1 234 JEG THEME

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.