Pulut Ketan
Tahun 70-an sampai 80-an, pulut ketan adalah salah satu menu sarapan yang banyak menghiasi tempat-tempat makan di kota Medan. Kedai kopi misalnya, tidak lengkap rasanya bila tidak menyediakan pulut ketan plus goreng pisang di sisi segelas kopi. Artinya orang-orang yang menikmati kopi dipagi hari melengkapi kenikmatan itu dengan sepiring pulut ketan plus goreng pisang raja. Sangkin populernya pulut ketan sebagai menu sarapan, bahkan penjual lontong pun tidak jarang menyediakan pulut ketan sebagai pelengkap.
Tahun 90-an, keberadaan pulut ketan mulai mengalami masa redup. Ini disebabkan munculnya menu sarapan baru yang dinamakan “mie balap”. Mie balap pada mulanya adalah masakan kawan-kawan Tionghoa Medan yang mengalami akulturasi dan dinamisasi sehingga menjadi makanan sejuta ummat.
Mie balap mulanya menggunakan mie tiaw yang berwarna putih. Namun lambat laun mengalami perkembangan yang dahsyat. Mie hun dan mie kuning, pada akhrinya juga masuk menjadi bagian dari mie balap, khas Medan.
Sejak kehadiran “mie balap”, menu pulut ketan itupun mulai hilang. Tidak hanya hilang dari kedai kopi, tetapi juga bisa menghilangkan banyak penjual lontong Medan yang terkenal. Artinya kehadiran mie balap lambat laun menggerus penjual lontong di pagi hari. Waktu menjual lontongpun berubah menjadi di malam hari dan memunculkan istilah baru yang dinamakan “lontong malam”.
Balik ke pulut ketan, makanan ini memang makanan nostalgia. Sangkin nostalgia, sangat sulit mendapatkannya. Di beberapa tempat memang masih tersedia seperti yang saya dapat pagi ini. Namun tidak dilengkapi dengan goreng pisang raja.
Kelebihan pulut ketan ini ketika menyentuh umpan tekak yang terletak di ujung lidah, adalah rasa gurih yang dominan. Rasa gurih itu di dapat dari perpaduan garam yang pas dengan kelapa parut. (safrin octora)

