• Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
Infomu
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
Infomu
No Result
View All Result
Usut Gaya PKI Orde Reformasi

Dr. Abdul Hakim Siagian

Kolom Dr. Abdul Hakim Siagian : Menghina Presiden

Syaiful Hadi by Syaiful Hadi
23 Juni 2021
in Kolom
86

Menghina Presiden
Oleh : Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum

Delik atau tindak pidana penghinaan presiden kembali mencuat di dalam draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Delik tersebut dapat ditemukan pada Pasal 217 s/d 220 Bab II Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Adapun bagian yang kontroversial dalam draf RKUHP versi 15 September 2019 yakni Pasal 218 ayat (1) berbunyi, “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.” Sementara itu, Pasal 219 mencantumkan pidana bagi pelaku penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat melalui medium komunikasi, selanjutnya Pasal 220 menegaskan pemidanaan penghina presiden atau wapres sebagai delik aduan.

Menghina adalah suatu perbuatan pidana, karena penghinaan merupakan kesengajaan untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang yang diawali dengan adanya kesengajaan jahat atau niat jahat (criminal intent), agar orang lain terserang kehormatan atau nama baiknya. Jika terjadi, tindakan kritik yang didahului, disertai atau diikuti dengan perbuatan menghina, maka yang dipidana menurut hukum pidana bukan perbuatan kritiknya, melainkan perbuatan penghinaannya. Oleh karena itu, persoalan pokoknya adalah dalam memandang delik penghinaan yaitu adanya hubungan yang sistemik antara rumusan norma yang kabur dengan penerapan dari norma tersebut, dan permasalahnnya membuat para hakim secara konsisten telah melakukan penerapan yang merugikan hak-hak konstitusional dari warga negara. Persoalan yang ada dalam norma tersebut adalah terletak pada rumusan unsur-unsur yang sifatnya “karet”, sehingga tidak memenuhi prinsip lex certa dalam suatu perumusan delik pidana.

Sulit untuk melihat apakah suatu pernyataan adalah sebuah kritik ataukah sebuah penghinaan. Tindakan seseorang harus dibedakan antara melakukan kritik terhadap seseorang (termasuk kritik terhadap presiden) dengan penghinaan, karena keduanya memiliki makna yang berbeda. Kritik tidak sama dengan menghina, walaupun secara subjektif sering ditafsirkan kritik adalah hinaan bahkan menghinakan itulah bukti konkret ketidaksiapan untuk berdemokrasi apalagi pemimpin yang harusnya sebagai pelayan tapi malah ‘dilayani.’

Jika menilik perjalanan sejarah Indonesia, diketahui pasal penghinaan Presiden, merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda. Saat itu pemerintah kolonial Belanda memberlakukan hukum pidana tertulis dengan asas konkordasi. Undang-Undang (UU) yang digunakan adalah Wetboek van Strafrecht Stadblad 1915 No 732 (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP). Tapi, terhitung 8 Maret 1942, ketika adanya peralihan kekuasaan dari pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang di Indonesia, Wetboek van Strafrecht Stadblad tidak lagi gunakan. Namun, setelah Indonesia merdeka, Wetboek van Strafrecht Stadblad masih tetap dipergunakan dan diberlakukan sebagai kitab UU hukum pidana Indonesia berdasarkan UU No 1 tahun 1946 jo UU No 73 Tahun 1958 bahkan hingga hari ini Wvs itu masih tetap berlaku padahal medeka saja sudah nyaris satu abad. Sudah sangat usang dan ketinggalan zaman di samoing semangatnya melindungi penjajah.

Lebih lanjut, keberadaan klausula delik penghinaan presiden dan wapres dapat ditemui dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Akan tetapi Pada 2006, Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP telah diajukan uji materi (judicial review) karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945 yang menjamin kebebasan warga negara memperoleh dan menyampaikan informasi. Pada 6 Desember 2006, MK mengabulkan permohonan uji materi tersebut melalui Putusan MK No. 013-022/ PUU-IV/2006 dan menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD Tahun 1945, oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Adapun Pertimbangan MK mengabulkan uji materi tersebut karena Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP dapat menghambat proses ketatanegaraan. Penyebabnya adalah tidak jelasnya rumusan sebuah perbuatan yang dimaksud sebagai penghinaan kepada Presiden dan Wapres.

Dalam pertimbangannya, MK mencontohkannya bilamana ada dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh presiden atau wakil presiden. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengklarifikasi tuduhan pelanggaran tersebut dapat dipandang sebagai penghinaan. Oleh karena itu sebagai negara hukum-demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, tidak relevan lagi ketiga pasal tersebut menegasi prinsip persamaan di depan hukum. Menurut MK, Indonesia juga merupakan negara hukum yang demokratis, berbentuk Republik, berkedaulatan rakyat, serta menjunjung hak asasi seperti yang diatur dalam UUD Tahun 1945. Pemberlakuan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP berakibat mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, serta prinsip kepastian hukum.

Dengan demikian, pengaturan delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden dianggap inkonstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Putusan tersebut memberikan argumentasi yang kuat (strong argumentation) untuk menghapuskan delik penghinaan presiden/wakil presiden. Delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi 15 tahun yang lalu, dianggap tidak sesuai dengan tujuan akhir atau utama kebijakan hukum pidana, yaitu melindungi masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia. Masyarakat akan merasa terkekang untuk mengkritisi kinerja pemerintah dengan keberadaan Bab II KUHP tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil presiden.

Sebelumnya banyak orang yang telah didakwa dan dipidana karena telah melanggar pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wapres yang diatur dalam KUHP. Beberapa orang di antaranya Sri Bintang Pamungkas yang terlibat demo anti-Soeharto di Jerman, April 1995 dan divonis 10 bulan penjara. Nanang dan Mudzakir (aktivis mahasiswa) dihukum satu tahun penjara karena didakwa menghina Presiden yaitu menginjak foto Megawati dalam sebuah unjuk rasa di depan Istana Merdeka, pada tahun 2003. I Wayan Suardana (Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia) dihukum 6 bulan penjara karena dianggap menghina Presiden Yudhoyono dalam sebuah unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM, pada tahun 2005. Berpijak pada beberapa fakta tersebut, pasal penghinaan kepada Presiden dan Wapres dianggap membelenggu kebebasan untuk menyatakan pendapat.

Bila melihat kondisi negara lain, peristiwa ditamparnya presiden Prancis waktu kemarin juga termasuk bagian dari penghinaan presiden dan telah mendapatkan hukuman enam bulan saja, lantas jikamana itu terjadi di Indonesia apakah pelaku penghinaan dapat dengan mudah dan cepat memperoleh hukuman sesuai dengan asas hukum peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan?.

Keberadaan pasal penghinaan presiden dalam draft RUU KUHP merupakan kemunduran dalam proses pelembagaan demokrasi, persamaan di depan hukum dan penghormatan di depan HAM. Pasalnya, wacana pasal penghinaan presiden dapat membungkam kebebasan warga negara, terutama dalam rangka menyampaikan pikiran dan pendapat. Padahal, kebebasan berpendapat merupakan hak asasi setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi, terutama yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, pasal penghinaan presiden dapat melahirkan kultur feodal, manakala para penegak hukum terlalu sensitif pada setiap penentangan terhadap kepala negara yang masih dianggap sebagai simbol negara itu bahkan akhir-akhir ini hukum terkesan sebagai alat untuk ‘menghantam’ kawan.

Diberlakukannya Pasal penghinaan terhadap Presiden adalah bagian dari ‘kebiri demokrasi’ dan mencoreng jiwa dari UUD 1945 serta hakikat ajaran revolusi mental yang selalu digelorakan oleh Presiden Jokowi. Pembatasan hak asasi manusia tidak boleh dilakukan dengan cara dan tujuan yang merusak demokrasi. Pembatasan yang mengandung segala bentuk pemaksaan, kesewenangwenangan dan diskriminasi harus dinyatakan tidak sah. Oleh karena itu, pada era reformasi saat ini yang menempatkan negara Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, sangat tidak relevan menghidupkan kembali delik penghinaan presiden/wakil presiden dalam RUU KUHP.
Masih segar dalam ingatan bagaimana penolakan kubu opisisi sewaktu orde Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tatkala pasal penghinaan presiden didengungkan. Misalnya, politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko, (3 April 2013 di republika.co.id) ia menilai usulan Pasal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam R-KUHP merupakan bukti bahwa pemerintah tidak siap dikritik. Ditambahkannya, pemerintah tidak siap dikritik masyarakat sebagai refleksi perilaku kekuasaan yang abai terhadap rakyat.

Hampir sama dengan Budiman Sudjatmiko, politisi PDIP, Eva Kusuma Sundari mengatakan, Pasal Penghinaan Presiden akan memunculkan politisi “penjilat” dengan menghidupkan kembali kebiasaan Orde Baru “Asal Bapak Senang” (ABS) Jelas Eva di liputan6.com pada 3 April 2013. Namun kini, keduanya tampak tak bersuara kala riak pasal penghinaan presiden itu dimunculkan kembali, mungkin saja mereka telah berubah.

Indonesia telah mengalami dua periode yang dapat menjadi pelajaran berharga bagi pembentukan hukum pidana yaitu pada saat ketentuan pidana penghinaan presiden ada dan ketika ketentuan tersebut tidak lagi berlaku. Mestinya diadakan penelitian yang mendalam apakah dengan ketiadaan pasal penghinaan presiden telah mengakibatkan gangguan yang serius terhadap ketertiban umum, atau menyebabkan tidak berfungsinya peran-peran dari seorang Presiden, atau lebih jauh lagi apakah ketiadaan aturan penghinaan Presiden telah menyebabkan seorang Presiden tidak lagi berwibawa atau bahwa seluruh perintah-perintah Presiden telah diabaikan oleh rakyatnya?.
Pertanyaan terbesar adalah apa yang membuat ‘pendukung’ Presiden begitu risau sehingga perlu untuk memasukkan lagi perlindungan khusus dalam hukum pidana untuk Presiden? Apa pula kepentingan dan kekuatiran ‘pendukung’ Presiden akan suara dan aspirasi dari rakyatnya sehingga membulatkan tekat mereka untuk membentuk aturan khusus demi menjaga martabat dan wibawanya?. Rasa-rasanya masih cukup banyak urusan yang jauh lebih penting untuk diurus seorang Presiden dan pendukungnya yang kebetulan sekarang sedang berkuasa padahal sewaktu oposisi mereka menentangnya. Lagipula, Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat mestinya dapat menerima dengan lapang dada betapapun keras dan pahitnya sebuah ucapan dan kritikan dari rakyatnya. Lebih baik untuk Presiden apabila ia dapat meresapi suara dan aspirasi rakyatnya untuk terciptanya pemerintahan yang semakin demokratis, ketimbang membuat perisai bagi dirinya sendiri toh pada nyatanya presiden pernah berucap ‘rindu didemo’ dan mengundang para kritikus.

Bahwa bila alasan munculnya delik ini karena dianggap untuk mencegah agar tidak liberalis, pertanyaannya apakah ekonomi, bisnis, bahkan masyarakat sekarang ini tidak lebih parah (liberalis, kapitalis, individualis)? dimana Pancasilanya?, harusnya itu yang jauh lebih penting diatur oleh hukum, sudah menjadi kewajiban presiden melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 bukan malah melanggar ketentuan yang sudah memperoleh putusan kuat dan mengikat seperti putusan MK. Eksistensi delik penghinaan presiden pun semakin bias manakala tidak ditemukannya point of view dalam naskah akademis RUU KUHP ini. Sehingga hendaknya perlu diperbaharui (fokus kajian filosofis, empiris/sosiologis dan juridis) karena itu merupakan keharusan. Tidak hanya itu, pembaharuan naskah akademik juga mencegah munculnya delik-delik baru (kriminalisasi atau dekriminalisasi) yang aneh-aneh termasuk tentang hukuman maksimal atas kejahatan serta perlindungan HAM. Kita tunggu respon langsung bapak presiden.

Penulis, Dr. Abdul Hakim Siagian, Dosen UMSU, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Utara

Bagikan ini:

  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
  • Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru) Surat elektronik
  • Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
  • Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak
Tags: kolommenghina presiden
Previous Post

Azyumardi Azra, Muhammadiyah Solid Sulit Diintervensi

Next Post

ASN dan Tenaga Kontrak Pemkab Aceh Tengah Mulai Disuntik Vaksin

Next Post
ASN dan Tenaga Kontrak Pemkab Aceh Tengah Mulai Disuntik Vaksin

ASN dan Tenaga Kontrak Pemkab Aceh Tengah Mulai Disuntik Vaksin

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Beranda
  • Kabar
  • Literasi
  • Kolom
  • Kesehatan
  • Muktamar
  • Pendidikan
  • Redaksi
Call us: +1 234 JEG THEME

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.