Oleh Muhammad Qorib
Wakil Ketua PWM dan Dekan FAI UMSU
Perjalanan waktu terjadi secara linier, terus kedepan, tidak berhenti apalagi mundur ke belakang. Kehilangan waktu bagi kebanyakan orang dianggap bukan sebuah kerugian, padahal konsekuesinya berpengaruh pada masa depan.
Hidup setiap orang pasti berada pada kumparan waktu. Jatah waktu yang diberikan Allah kepada setiap orang tidak pernah berbeda. Satu jam terdiri dari 60 menit. Satu hari terdiri dari 24 jam, begitu seterusnya. Jumlah dan kualitas waktu tidak ditentukan oleh harga sebuah jam, namun oleh manajemen dan kualitas amal shalih yang dilakukan.
Sangat terasa, waktu berjalan begitu cepat. Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Atas, sampai Pendidikan Tinggi yang telah dijalani seseorang, terkadang mewujud dalam sebuah memori masa lalu. Waktu untuk menempuh pendidikan selama belasan bahkan puluhan tahun tersebut tersimpul sederhana dalam jejak cerita.
Masa anak-anak dan remaja senantiasa membayang di pelupuk mata. Mengail ikan, membantu orang tua menanam padi, bermain sepak bola dengan tiang gawang dari tumpukan sandal jepit, jualan kue keliling kampung, mengaji dengan menggunakan lampu teplok dan patromak, mandi di sungai, menjadi lukisan-lukisan kenangan yang tak pernah buram.
Kini, hampir setiap orang telah meninggalkan kenangan itu dan dihadapkan pada kenyataan yang mengitarinya. Banyak perubahan yang terjadi dan keadaan sekarang tidak seperti dulu. Usia yang tidak lagi muda adalah perubahan yang paling jelas.
Anak-anak yang sudah dewasa bahkan sudah berumah tangga, diiringi tangisan lucu dan jemari lentik para cucu adalah sederetan perubahan lain. Jika dingat-ingat, sepertinya baru “kemarin sore” anak-anak tersebut ditimang mesra dalam pelukan. Masih terbayang, mereka juga sangat riang gembira menerima mainan yang baru dibeli dari toko dan memelas manja jika menginginkan sesuatu. Ternyata semua itu telah terlewati dan menjadi material sejarah.
Jatah waktu yang diberikan Allah menjadi momen penting untuk beramal. Perjalanan waktu juga memberi arti bahwa batang usia seseorang kian defisit dan menuju batas akhir. Adalah sebuah kerugian yang besar jika usia seseorang dipastikan menuju batas akhir namun ia mengalami kemarau amal. Tidak ada kebajikan yang dilakukan. Langgam hidupnya statis dan tak bermakna.
Ia juga tersandera dalam pusaran waktu. Terjadinya pergantian siang dan malam, terbit dan tenggelamnya mentari, sama sekali tidak mengusik nalarnya. Aktifitas non produktif tersebut dilakukan secara kontinyu. Bahkan perubahan keadaan tubuh dianggap bukan sebuah telaga untuk bercermin, melainkan proses alamiah saja. Uban yang kian bertambah, gigi yang tanggal, kulit yang mengendur dan penyakit yang mendera, sesungguhnya menjadi evaluasi diri untuk senantiasa berbenah.
Dapat disaksikan, banyak orang kehabisan waktu dan disergap kematian dalam berbagai keadaan. Tidak diketahui apakah mereka sudah membuat persiapan untuk “hari yang paling menakutkan” itu atau belum. Uniknya lagi sergapan kematian datang dalam setiap keadaan dan tidak pernah menetapkan syarat.
Sehat, sakit, tua, muda, kaya, miskin, raja, rakyat biasa, cerdik cendekia, orang awam, semua dipastikan menghadapinya. Sebab itulah, menjadi sangat penting mengelola waktu yang diberikan Allah dengan berbagai amal baik. Jeritan penyesalan untuk perbaikan diri semestinya dilakukan sedini mungkin. Jeritan di seberang kematian tidak akan ada gunanya.
Harus disadari bahwa perjalanan waktu dan perubahan keadaan adalah sesuatu yang niscaya dan tak dapat dihindari. Namun demikian, sungguh arif jika berbagai perubahan tersebut sarat makna. Pemaknaan dalam konteks ini diwujudkan melalui implementasi ketaatan secara vertikal maupun ketaatan secara horizontal.
Ketaatan ritual semakin kuat dan kebajikan sosial semakin membentang luas. Tak lupa pula ketaatan semesta. Ketaatan ini sering alpa dalam perilaku seseorang. Ketaatan secara vertikal dan secara horizontal tidak memiliki arti jika menafikan ketaatan semesta. Hal ini diwujudkan melalui sikap arif dan bijak agar lingkungan tetap terawat dan terpelihara dengan baik.
Dalam Alquran, Allah menetapkan kualifikasi orang-orang yang tidak akan rugi menjalani kehidupan ini. Apa yang dilakukan mereka juga menjadi jembatan investasi di akhirat kelak. Mereka adalah orang-orang yang beriman. Iman dalam konteks ini bukan sebatas kepercayaan yang terpenjara beku di hati. Iman menyangkut rasa aman dan sikap amanah sebagai individu dan kelompok.
Amal shalih juga menjadi persyaratan utama untuk keluar dari gilingan waktu tersebut. Karakteristik amal shalih terlihat dari kebermanfaatannya untuk pribadi yang melakukan dan untuk lingkungan sekitarnya. Tidak ada amal shalih yang bersifat egoistik, hanya untuk kesenangan pribadi saja. Selain itu, Allah juga menjelaskan bahwa menjunjung tinggi kebenaran dan sabar dengan penuh perhitungan menjadi persyaratan lain.
Terdapat tiga kategori manusia menurut Rasulullah terkait manajemen waktu dan amal shalih. Setiap orang tak akan lepas dari predikat tersebut. Pertama, orang yang pada hari ini amalnya lebih baik daripada hari kemarin, maka ia menjadi orang yang beruntung. Kedua, orang yang pada hari ini amalnya sama dengan hari kemarin, maka ia menjadi orang yang merugi. Ketiga, orang yang pada hari ini amalnya lebih buruk daripada hari kemarin, maka ia menjadi orang yang celaka.
Predikat dan proyeksi dari Rasulullah ini menjadi piranti muhasabah bagi setiap orang. Kategori pertama dipastikan sangat bersahabat dan cerdas dalam mengelola waktu. Mereka sangat kreatif menciptakan amal shalih. Sementara kategori kedua dan ketiga adalah orang-orang tergilas waktu dan mengalami kemarau amal. Semoga bermanfaat. (*)