Kecerdasan Hati Nurani
Oleh Prof. Ibrahim Gultom
Entah kenapa akhir-akhir ini semakin mudah kita menyaksikan penomena anomali di tengah masyarakat, mulai dari perilaku masyarakat biasa hingga perilaku pemimpin hampir di semua lini dalam konteks trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Penomena itu seolah menjadi hiasan yang dipertontonkan saban hari lewat media sosial. Tampaknya anomali ini semakin lama semakin subur seiring dengan memudarnya semangat reformasi dan matinya demokrasi menuju demokrasi semu.
Terminologi anomali pada awalnya muncul pada kajian sosiologi kuhususnya topik perilaku menyimpang yang diakibatkan sukarnya seseorang menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku dalam sistem sosial. Namun istilah itu belakangan menjadi familiar dalam berbagai kajian bukan saja dalam bidang psikologi, tetapi juga dalam bidang politik dan hukum. Saya tentu tidak perlu menyebut jenis-jenis anomali yang dimaksud. Biarlah publik sebagai wasit yang mengikuti perkembangan atribut-atribut yang melekat pada anomali tersebut.
Yang jelas anomali itu sebuah perilaku negatif yang dilakukan secara individu maupun sosial. Anomali biasanya muncul karena banyak penyebab namun semuanya berpangkal pada ketidaktaatan kepada norma moral serta inkonsisten terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Anomali berarti menggambarkan sebuah keanehan dan keganjilan karena tidak memenuhi standar perilaku pada umumnya dan jauh dari kelaziman pada sediakala. Ketika seorang pencuri ayam diganjar hukuman 4 tahun sedang koruptor kakap dihukum 2 tahun, itulah sebuah contoh anomali yang kentara di bidang penegakan hukum. Masih banyak contoh yang tergolong anomali dalam bidang yang lain.
Norma dan hukum itu seyogianya menjadi rujukan dalam bercara hidup. Itu pulalah yang menjadi pijakan moral dalam setiap bersikap, bertindak dan berperilaku. Terserah di mana moral itu hadir yang menghunjuk pada apakah moral masyarakat, moral politisi, moral pengacara dan moral lainnya. Memang masing-masing pranata dan institusi memiliki standar moral yang berbeda. Moral politisi tentu berbeda dengan moral pengacara apalagi moral guru, ilmuwan dan ulama.
Lain lagi moral bagi penegak hukum yang senantiasa menggiring kepada butir-butir hukum yang ada meski terkadang produk hukum itu dibuat melalui politik hukum yang sesat dan tidak memiliki kecerdasan hati nurani. Padahal tidak selamanya hukum itu efektif jika diterapkan tanpa menghadirkan hati nurani. Kecerdasan hati nurani menjadi alat yang berharga dalam setiap menentukan dan memutuskan apakah seseorang layak ditangkap atau tidak atau pantas dihukum atau tidak.
Lain lagi moral bagi penegak hukum yang senantiasa menggiring kepada butir-butir hukum yang ada meski terkadang produk hukum itu dibuat melalui politik hukum yang sesat dan tidak memiliki kecerdasan hati nurani. Padahal tidak selamanya hukum itu efektif jika diterapkan tanpa menghadirkan hati nurani. Kecerdasan hati nurani menjadi alat yang berharga dalam setiap menentukan dan memutuskan apakah seseorang layak ditangkap atau tidak atau pantas dihukum atau tidak.
Hati nurani adalah suatu proses kognitif yang menghasilkan perasaan dan pengaitan secara rasional berdasarkan pandangan moral atau sistem nilai seseorang (Wikipedia). Meski tidak semua ahli sepakat dengan definisi ini namun yang jelas hati nurani berbeda dengan emosi. Hati nurani adalah inti dari kedalaman diri manusia yang paling rahasia. Ibarat dalam sebuah kotak yang suci hanya suara Tuhan yang menggema dalam batinnya.
Dalam hal menentukan pilihan hidup ia memiliki kesadaran akan adanya kemampuan untuk itu. Kemampuan itu tiada lain berupa hembusan, bisikan dan nasehat hati nurani. Hati nurani cenderung ke arah yang baik dan melarang berbuat buruk. Sering kali hati nurani tidak berdaya akibat kuatnya daya penghalang untuk berbuat baik yang menyebabkan jatuhnya ke jurang kegelapan akibat berbuat kesalahan, kekeliruan dan dosa. Jika perbuatan itu buruk dan salah, maka hati nurani merasakan penyesalan. Sebaliknya jika perbuatan itu baik, maka hati nurani akan ikut merayakan dan memujinya. Sedapat mungkin hati nurani diupayakan sebagai pemenang agar dapat dirasakan seluruh umat manusia.
Dalam masyarakat kompleks sering kali kita menemukan pilihan rumit setiap melaksanakan tugas, baik tugas institusi seperti tugas pimpinan partai, pimpinan daerah, unit tertentu, Polri dan TNI serta tugas yang sifatnya personal dan individual. Terkadang cahaya hati nurani dikorbankan demi memperoleh kepentingan sesaat tanpa mempertimbangkan dampak buruk jangka panjang dari hasil perselingkuhan hati nurani itu.
Di dalam psikoanalisa Sigmund Freud ada tiga elemen keperibadian yang menggerakkan manusia untuk bertindak, yaitu unsur Id, Ego dan Superego. Ketiga struktur psikis ini acapkali berkecamuk di dalam dada setiap kali diperhadapkan suatu pilihan sebelum melakukan sebuah tindakan. Id merupakan tempat dorongan dasar seperti keinginan dan nafsu untuk meraih kepuasan dan kesenangan (pleasure principle), sedang Ego sebagai alat penyaring berbasis pada pertimbangan rasional dan sosial tentang sebuah realitas. Sementara superego berfungsi sebagai penasihat diri berupa hati nurani yang bersumber dari daya norma dan hukum.
Menyambut kehadiran Pilkada yang berlangsung besok tanggal 9 Desember 2020 yang serentak di sebagian wilayah Indonesia sesungguhnya adalah pertarungan hati nurani rakyat. Di samping peran kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual, kecerdasan hati nurani juga sangat penting dalam menentukan menang tidaknya hati nurani rakyat. Pergulatan antara kepentingan dan hati nurani kerap kali mewarnai psikologi pemilih dalam setiap menentukan pilihannya.
Ada orang memilih calon tertentu hanya karena memperoleh kesenangan sesaat berupa bingkisan sembako atau iming-iming tanpa mengindahkan fatwa bujangga dan ada pula orang yang mengikuti nasihat para ulama dengan harapan mendapatkan ridho dari Ilahi. Terkait dengan hati nurani ini Rasulullah pernah berkata dengan bahasa kenabiannya dengan ucapan ;” mintalah fatwa pada dirimu”.
Kalimat ini hingga tiga kali diucapkan kepada seseorang dalam hal menentukan mana yang terbaik untuk dirinya. Fatwa yang dimaksud tentu menanya kalbu yang paling dalam agar setiap melangkah, memilih dan memutuskan senantiasa berkordinsasi dengan hati nurani agar jangan timbul penyesalan pada dirinya. Bila hati nurani tidak diindahkan secara berjamaah maka dampaknya akan dirasakan oleh umat yang lebih luas. Bukan saja penyesalan, malah mudhorat yang berkepanjangan pun akan dirasakan.
Meminta fatwa dalam konteks hadis ini, bisa dimaknai merenung dan menimbang mana yang terbaik buat dirinya dan orang lain. Ketika hadis ini muncul sudah tentu hukum syariat sudah lengkap disampaikan Rasul dan tak perlu diragukan lagi untuk mengamalkannya, namun dalam hal tertentu Rasulullah megembalikan kepada diri seseorang dengan cara meminta fatwa kepada dirinya sendiri.
Proses renungan kalbu melahirkan hati nurani, sedang mengelola hati nurani mengefektifkan kecerdasan hati nurani. Hasil kerja kecerdasan hati nurani yang baik tentu memperoleh kepuasan, kedamaian dan kebahagiaan batin bukan saja pada dirinya tapi juga pada orang lain. Artinya, bila hasil kerja kecerdasan hati nurani berbuah manis tentu dampaknya bisa dirasakan masyarakat secara komunal.
Tidak sedikit orang yang mau mengikuti suara hati yang terpatri dalam hati nurani. Demikian juga sebaliknya, banyak pula orang yang sanggup membunuh energi hati nuraninya karena yang lebih dominan subur dalam sanubarinya adalah sifat-sifat yang cenderung berbuat jahat. Sekiranya dia berbuat salah dan jahat selalu saja dicarinya cara untuk membenarkan perbuatan buruknya seolah tidak merasa berbuat salah, buruk dan jahat. Model seperti inilah yang disebut orang yang memiliki hati nurani zulmani yang dicirikan enggan mengindahkan hukum Allah, menghindar berjuang untuk kepentingan umat serta dominan menuhankan hawa nafsunya.
Mengakhiri tulisan ini, saya mengajak semua lapisan masyarakat agar hati nurani bisa terawat dan terpancar pada setiap kita setiap menjalankan aktifitas. Demikian juga dalam mengelola pemerintahan tak terkecuali dalam memilih pemimpin masa depan yang diharapkan lebih baik. Para pendahulu kita pun akan menangis bila pemimpin dan rakyatnya tidak lagi memiliki hati nurani dalam memelihara ibu pertiwi. Lagi pula, menjaga keutuhan bangsa dan negara juga merupakan ibadah meski tidak sebesar nilai ibadah mahdhoh.
Namun di akhir zaman yang sedang kita jalani ini, sudah tiba suatu masa yang bukan saja amalan mahdohmu yang di hisab Allah melainkan ghirahmu dalam membela agama, nabi, ulama dan pilihan politikmu yang dapat merajut NKRI dan memakmurkan syiar agama.
Bila kecerdasan hati nurani sudah kalah dan bahkan sudah hilang dari dirimu, maka tunggulah anomali-anomali jilid berikutnya yang merontokkan tatanan demokrasi yang selama ini sudah apik dan rapi. Jika kita salah pilih berarti kita punya andil dalam menyuburkan tumbuhnya oligarki dan menghalalkan segala cara, menyuburkan kedzoliman yang bisa saja berkepanjangan.
Jika selama ini otak diplesetkan berada di dengkul menghujuk pada orang bodoh dan dungu, maka bagi orang yang tak punya hati nurani mungkin boleh disebut diletakkan pada bagian anggota tubuh yang bernama pantat. Itu mungkin frasa yang paling pas bagi orang yang tidak menuruti kehendak hati nurani. Sudikah diri kita dilabelkan seperti itu? Kalau tidak, mari sehatkan akal, jernihkan hati dan pancarkan hati nurani..!!!Prof. Ibrahim Gultom, Wakil Ketua PW Sumatera Utara Guru Besar UNIMED dan anggota DRD-SUMUT
Bila kecerdasan hati nurani sudah kalah dan bahkan sudah hilang dari dirimu, maka tunggulah anomali-anomali jilid berikutnya yang merontokkan tatanan demokrasi yang selama ini sudah apik dan rapi. Jika kita salah pilih berarti kita punya andil dalam menyuburkan tumbuhnya oligarki dan menghalalkan segala cara, menyuburkan kedzoliman yang bisa saja berkepanjangan.
Jika selama ini otak diplesetkan berada di dengkul menghujuk pada orang bodoh dan dungu, maka bagi orang yang tak punya hati nurani mungkin boleh disebut diletakkan pada bagian anggota tubuh yang bernama pantat. Itu mungkin frasa yang paling pas bagi orang yang tidak menuruti kehendak hati nurani. Sudikah diri kita dilabelkan seperti itu? Kalau tidak, mari sehatkan akal, jernihkan hati dan pancarkan hati nurani..!!!Prof. Ibrahim Gultom, Wakil Ketua PW Sumatera Utara Guru Besar UNIMED dan anggota DRD-SUMUT