Polemik Omnibus Law
Oleh : Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum
Wakil Ketua PWM Sumut
Wakil Ketua PWM Sumut
Omnibus law RUU Cipta Kerja (Cika) menjadi bola panas yang mendapat penolakan dari berbagai pihak. Omnibus law yang semula sudah digadang-gadang menjadi jawaban untuk membuka keran investasi di Indonesia pasca didengungkan oleh Presiden Jokowi melalui pidato pelantikan presiden Oktober 2019 lalu kini berkelindan kusut. Pada pencetusan konsep omnibus law saja sudah menimbulkan polemik sebab konsep omnibus law tidaklah dikenal dalam kerangka sistem hukum nasional. Dalam UU No. 15 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hanya dikenal dengan revisi atau perubahan terhadap undang-undang yang ada.
Investasi kerap menjadi sasaran utama dipercepatnya pembentukan RUU Cika. Tapi investasi yang seperti apa dulu? Lihat saja data dan berita. Tidak ada masalah dengan investasi kita. Bahkan China kalah dari kita. Masalahnya adalah kualitas investasi itu yakni korupsi yang menjadi penghambat kualitas investasi. Mengutip data The Global Competitive Index, sejak 2016 hingga 2017 korupsi merupakan faktor terbesar yang menghambat investasi. Senada dengan itu Data KPK sejak 2004-2018 menunjukkan setidaknya 64 persen perkara korupsi dilakukan dengan modus penyuapan. Penyuapan itu justru mengganggu iklim berusaha.
Konsep omnibus law yang berasal dari bahasa Latin berarti “for everything,” sebagai upaya untuk mendayung sekali dan melampaui dua tiga pulau. Maksudnya, satu regulasi anyar sengaja dibentuk sekaligus untuk menggantikan lebih dari satu regulasi lain yang sudah berlaku diyakini berguna untuk meminimalisir gembrotnya peraturan. Akan tetapi bagaimana bila pembentukan omnibus law berdampak pada pembentukan aturan-aturan turunannya yang jumlahnya tidak sedikit? Sebab sebagaimana yang diketahui RUU Cipta Kerja mensyaratkan adanya sekitar 500 peraturan pelaksana.
Alih-alih ingin menyederhanakan hukum, RUU Cipta Kerja ini malah berpotensi menabrak berbagai aturan hukum yang ada, bahkan menambah ‘gembrotnya’ peraturan perundang-undangan serta dampak penolakan yang justru malah menciptakan ‘kekacauan’ di masyarakat. Bagaimana investasi akan datang bila keadaan negeri sedang tidak kondusif atau tidak stabil? Hal itu akan membuat para investor khususnya investor asing yang menjadi sasaran dibentuknya omnibus law ini berpikir dua kali. Lihat saja, usai mendapatkan kesepakatan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada sidang paripurna Senin (5/10/2020) lalu, publik secara bergantian melakukan demonstrasi secara besar-besaran di berbagai wilayah menyerukan penolakan.
Proses terburu-buru dan ‘ghaib’ terbentuknya omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi satu diantara alasan penolakan RUU Cipta Kerja. Bagaimana tidak, proses penyusunan RUU Cipta Kerja ini cacat prosedur karena dilakukan tertutup tanpa partisipasi masyarakat sipil. Buktinya, sampai saat ini masyarakat sipil tidak dapat mengakses naskah akademik dan draft RUU omnibus law versi pemerintah yang telah disepakati bersama dengan DPR. Pun terhadap sesama anggota DPR saja yang menyepakati RUU Cipta Kerja ini tidak ditemukan draft RUU Cipta Kerja di tangan mereka, lantas UU mana yang sebenarnya mereka sepakati itu? Sementara argumen pemerintah mengharuskan masyarakat untuk membaca dengan teliti terlebih dahulu sebelum melakukan unjuk rasa. Tidak heran informasi simpang siur terkait draft RUU Cipta Kerja hilir mudik di media sosial yang diyakini pemerintah sebagai hoax. Lantas manakah draft yang benar itu? Atau jangan-jangan patut dicurigai bahwa justru pemerintah lah yang membiarkan masyarakat tersesat dalam hoax yang melebar itu.
Berbicara cipta kerja seharusnya memberikan jaminan pekerjaan bagi segenap rakyat Indonesia dengan memperhatikan kehidupan yang layak bagi setiap tenaga kerja, bukan malah condong kepada kepentingan pengusaha sembari menutup mata atas problematika ketenagakerjaan yang tidak terjawab di dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya. RUU Cika yang bentuknya ‘bak siluman’ ini nantinya akan berlaku umum dan mengikat. Kita harus kritis berpikir. Jika dinarasikan orang butuh kerja dan kerja butuh investasi, kita juga perlu bertanya investasi yang seperti apa? Bukankah ada juga yang diuntungkan dan makmur karena menjadi broker investasi asing di Indonesia?. Semua harus jelas dan transparan. Masyarakat perlu tahu. UU Cipta Kerja bisa memperkaya sedikit orang, bisa juga memiskinkan banyak orang. Belum diundangkan dan barangnya siluman saja, sudah berjatuhan banyak korban.
Jika satu peraturan yang maksudnya bertujuan untuk mengharmonisasi berbagai peraturan lainnya justru malah menimbulkan dampak negatif atas aturan-aturan lainnya, maka timbul pertanyaan apakah seharusnya RUU ini ditiadakan?. Untuk itulah diharapkan kepada Bapak Presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) setelah RUU dicatatkan pada lembaran negara, walaupun kecil harapan akan terwujud. Upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi sudah menanti sekalipun pesimis hakim MK akan mengabulkan gugatan UU Cipta Kerja . Upaya selanjutnya dengan mengajukan gugatan perdata terhadap DPR dengan dalil wanprestasi karena dasar terbentuknya sebuah negara itu bermula dari perjanjian sosial dan perbuatan melawan hukum sebab seharusnya kedaulatan tertinggi sebuah negara berada di tangan rakyatnya bukan malah wakilnya yang justru tidak merepsentasikan rakyat.