112 Tahun Muhammadiyah dan Pentingnya Menjadi Gerakan Ilmu
Oleh : Biyanto Guru Besar UIN Sunan Ampel dan Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
MUHAMMADIYAH genap berusia 112 tahun (18 November 1912-18 November 2024). Dalam perayaan hari kelahiran (milad) ini aktivis Muhammadiyah penting menjadikan pernyataan Nurcholish Madjid (Cak Nur) sebagai penyemangat. Dalam suatu kesempatan Cak Nur pernah memberikan pujian luar biasa kepada Muhammadiyah. Menurut Cak Nur, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam modern yang terbesar di dunia. Muhammadiyah dinilai lebih besar daripada organisasi mana pun di dunia Islam.
Karena itulah, Cak Nur menyebut Muhammadiyah sebagai bagian cerita sukses di kalangan organisasi Islam. Tidak hanya secara nasional, tetapi juga internasional. Pernyataan Cak Nur terasa bukan sekadar pujian. Faktanya, Muhammadiyah terus bergerak melintas batas-batas negara.
Bahkan, kini Muhammadiyah sudah memiliki 31 cabang kepemimpinan di sejumlah negara. Namanya Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah/Aisyiyah (PCIM/A). Sebagai bagian bentuk internasionalisasi dakwah pencerahan Muhammadiyah di level dunia, keberadaan PCIM/A tentu sangat bermakna.
Akan tetapi, harus diakui, dinamika PCIM/A sangat bergantung pada diaspora kader-kader Muhammadiyah yang belajar di mancanegara. Jika ada keberlanjutan kader-kader Muhammadiyah yang melanjutkan studi di mancanegara, aktivitas PCIM/A akan terjaga dengan baik. Sebaliknya, jika tidak ada kader yang melanjutkan kuliah di negara tersebut, untuk sementara aktivitas PCIM/A terhenti. Dalam kaitan inilah penting dilakukan program persiapan kader-kader Muhammadiyah untuk belajar ke luar negeri.
Dengan perkembangan organisasi yang membanggakan di level nasional dan internasional, keberadaan Muhammadiyah telah mengundang kekaguman kalangan outsider dari luar negeri. Peneliti dari Jepang, Mitsuo Nakamura, menyatakan Muhammadiyah tidak diragukan lagi sebagai organisasi Islam yang paling berjasa membangun masyarakat Islam yang maju di Indonesia. Testimoni ini merupakan hasil amatan Nakamura yang menghabiskan hampir separuh usianya untuk meneliti Muhammadiyah.
Bahkan, Nakamura harus merevisi teorinya tentang Muhammadiyah sebagai urban phenomenon
(gejala perkotaan). Pada awalnya, hasil penelitian Nakamura menyimpulkan bahwa Muhammadiyah merupakan gejala perkotaan. Hal itu karena Muhammadiyah hanya mampu berkembang di kota dan diterima di kalangan masyarakat kelas menengah yang terdidik. Namun, dalam perkembangannya, Muhammadiyah hadir di berbagai pelosok desa. Hal itu berarti dakwah Muhammadiyah diterima dengan baik warga perdesaan. Jadi, Muhammadiyah bukan hanya gejala perkotaan, melainkan sudah menjadi gerakan yang berkembang di desa.
Sementara itu, Robert W Hefner, antropolog dari Boston University, mengatakan Muhammadiyah merupakan kunci karenanya Indonesia menjadi satu-satunya negara yang berhasil menjalankan amal sosial dan amal agamais yang boleh diamati sebagai model untuk seluruh dunia. Tidak untuk organisasi muslim saja, tapi juga orang lain di negara-negara lain. Muhammadiyah merupakan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan yang tersukses di dunia.
Beberapa testimoni yang membanggakan, apalagi disampaikan kalangan outsider baik dari dalam maupun luar negeri, dapat menjadi energi positif bagi aktivis Muhammadiyah. Semua pujian itu penting menjadi penyemangat untuk menjadikan kiprah Muhammadiyah lebih meluas, melampaui bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Apalagi, usia Muhammadiyah sudah melampaui satu abad. Usia yang sangat matang untuk sebuah organisasi sosial keagamaan.
Beberapa kritik konstruktif
Selain pujian yang diberikan banyak kalangan, Muhammadiyah juga menerima sejumlah kritik. Salah satunya dikemukakan Azyumardi Azra. Menurut Azyumardi, Muhammadiyah memang layak disebut gerakan pembaru (tajdid), terutama pengembangan di bidang amal usaha. Akan tetapi, dalam pemikiran keagamaan, Muhammadiyah lebih menunjukkan karakter gerakan salafiyah. Dinamika pemikiran keagamaan Muhammadiyah dinilai belum sehebat capaian di bidang amal usaha. Hal itu karena tekanan ideologi gerakan Muhammadiyah ialah pemurnian (purifikasi).
Sebagai gerakan purifikasi, dakwah Muhammadiyah lebih menekankan pemberantasan takhayul, bid’ah, dan churafat
(TBC). Meski menuai kritik, pada level praksis sosial semua ahli bersepakat untuk mengatakan bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan pembaru. Melalui teologi al-Ma’un (the theology of al-Ma’unism) Muhammadiyah membuktikan diri sebagai gerakan yang menekankan pentingnya beramal saleh.
Dengan berlandaskan pada ajaran Al-Ma’unisme, Muhammadiyah telah melaksanakan prinsip a faith with action. Prinsip ini terasa sangat fundamental dalam ajaran agama, sebab agama Islam mengajarkan pentingnya menyandingkan antara keimanan dan amal saleh.
Dalam kaitan ini dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah selalu berusaha untuk menyelaraskan ajaran keimanan dan amal sosial. Dakwah Muhammadiyah tidak berhenti pada retorika belaka. Muhammadiyah memberikan teladan dalam bentuk amal yang bermanfaat bagi umat.
Pada abad kedua ini Muhammadiyah mengembangkan dakwah melalui bidang Lembaga Zakat Infaq dan Shodaqoh (Lazismu), Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), dan pemberdayaan masyarakat. Tiga bidang ini dikenal dengan Trisula Abad Kedua. Melalui Trisula Abad Kedua, Muhammadiyah tetap menunjukkan karakter sebagai organisasi yang menekankan pada gerakan amal. Justru dengan amal usaha yang semakin besar, Muhammadiyah dihadapkan pada banyak persoalan. Terutama problem yang berkaitan dengan pengelolaan amal usaha.
Energi Muhammadiyah nyaris habis untuk mengurus amal usaha. Dampaknya, seperti dikemukakan Azyumardi Azra, kontribusi pemikiran Muhammadiyah terasa kurang menonjol. Pada konteks itulah Muhammadiyah perlu melakukan revitalisasi ideologi agar mampu menampilkan diri sebagai gerakan amal sekaligus gerakan ilmu.
Dengan menyeimbangkan gerakan praksisme dan intelektualisme, Muhammadiyah pasti mampu berkiprah pada abad kedua dengan lebih cemerlang. Hal itu karena intelektualisme selalu memberikan energi positif yang luar biasa. (MI)
Bukan sekadar motivasi, Buya Syafii juga aktif membina kader-kader Muhammadiyah. Kader-kader persyarikatan yang pernah berhimpun di Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) merasa sangat nyaman dengan dukungan Buya Syafii. Apalagi, ketika itu Buya Syafii menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhamadiyah.
Bersama Din Syamsuddin, Amien Abdullah, dan Moeslim Abdurrahman, Buya Syafii memosisikan diri laksana sebagai mentor bagi aktivis JIMM. Dari rahim JIMM inilah lahir banyak sekali intelektual muda Muhammadiyah yang menampilkan wajah sebagai pelopor gerakan intelektualisme.
Dengan menjadi gerakan intelektualisme, Muhammadiyah dapat memberikan pencerahan pada umat. Terutama, terkait berbagai paham keagamaan yang hadir pada era kontemporer. Harus diakui, wajah Islam Indonesia telah diwarnai persaingan sekaligus perebutan pengaruh antara kelompok Islam fundamentalis dan liberalis.
Kelompok Islam fundamentalis, dengan dalih ingin mengembalikan amalan keagamaan sebagaimana dicontohkan generasi awal Islam, terkadang mengalami distorsi yang luar biasa. Mereka sering melakukan simplifikasi ajaran Islam melalui simbol pakaian berjubah, memakai celak, berjenggot, dan bercelana di atas tumit. Meski beberapa identitas keislaman tersebut memiliki rujukan normatif, menyederhanakan Islam dengan hal-hal yang bersifat kategoris dan simbolik seperti itu dapat mengaburkan substansi ajaran Islam.
Menghadapi perdebatan dan persaingan dua mazhab pemikiran Islam itulah, Muhammadiyah penting menampilkan diri sebagai mediator. Muhammadiyah dapat menjalankan fungsi sebagai management of ideas di antara berbagai mazhab pemikiran.
Yang perlu dilakukan Muhammadiyah pada berbagai mazhab pemikiran ialah mengajak mereka untuk berdialog secara tulus. Mereka harus diajak untuk bergerak ke posisi tengah (al-wasathiyah). Pada konteks ini ruang dialog yang memungkinkan beragam mazhab pemikiran untuk bertemu penting diperbanyak. Kelompok wasathiyah penting diperkuat agar Islam Indonesia mampu menampilkan wajah yang lebih toleran, terbuka, dan saling menghargai.
Pada konteks itulah perayaan milad ke-112 penting dijadikan aktivis Muhammadiyah untuk melakukan refleksi terhadap kiprah panjang organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini. Muhammadiyah harus menjadi bagian dari gerakan pencerahan untuk merevitalisasi paham keagamaan umat dari yang sekadar simbolik ke yang substantif. Untuk tujuan mulia ini Muhammadiyah penting menampilkan diri sebagai gerakan amal sekaligus gerakan ilmu.